Seorang pedagang duduk termangu memandangi kiosnya yang hangus akibat kebakaran dahsyat yang menimpa pasar. Semua barang dagangan yang ada di dalamnya hangus. Padahal sebagian besar dagangannya adalah berasal dari dana pinjaman dari sebuah bank yang nilainya cukup besar. Dalam pikirannya bagaimana cara mengembalikan pinjaman sebesar itu sementara dagangan dan kiosnya sudah ludes. Belum habis rasa sedih si pedagang, beberapa hari kemudian dikejutkan dengan tagihan pinjaman dari sebuah bank yang memberi kredit kepadanya. Â Untuk berjualan saja ia belum tahu harus mencari modal dari mana. Apalagi harus mengembalikan pinjaman pokok, ditambah bunganya pula.
Si pedagang tersebut meminta penangguhan kepada pihak bank untuk pinjamannya. Namun dari pihak bank justru terkesan tidak mau tahu karena uang yang dipinjam pedagang tersebut juga milik nasabah lain yang menginvestasikan uangnya ke bank tersebut. pihak bank tetap tak peduli atas peristiwa yang dialami si pedagang, ia harus tetap mengembalikan sebagaimana waktu yang telah ditentukan bersama. Dalam kondisi demikian, siapapun orangnya sangat berharap pihak bank dapat menghapus sisa pembiayaan. Tetapi harapan tersebut sulit menjadi kenyataan karena sistem yang dipakai adalah sistem konvensional. Lain halnya jika si pedagang melakukan transaksi bisnisnya dengan sistem syariah, utamanya menggunakan akad mudharabah di Lembaga Keuangan Syariah (LKS)
Dalam praktek ekonomi syariah yang diterapkan di lembaga keuangan, kita mengenal model pembiayaan akad mudharabah. Akad mudharabah  adalah akad antara dua pihak di mana satu pihak disebut shahibul mal (pemilik dana) dan pihak kedua disebut dengan mudharib (pengelola dana). Salah satu ciri utama dari kontrak ini adalah bahwa keuntungan, jika ada akan dibagi antara shahibul mal dengan mudharib berdasarkan proposrsi yang telah disepakatib sebelumnya atau dikenal juga dengan istilan nisbah. Misalnya, 30:70 (30 nisbah LKS, sementara 80 untuk nasabah) sedang kerugian, jika ada akan ditanggung sendiri oleh shahibul mal.
Kerugian yang dimaksud dalam konteks ini adalah jika usaha dagang mudharib terkena musibah seperti yang diceritakan di atas, musibah yang bersifat force majeur (kebakaran, banjir, tsunami dll), maka resikonya bagi shohibul mal adalah kehilangan sebagian atau seluruh modal, sementara resiko mudharib adalah tidak mendapatkan hasil atas kerja dan usahanya. Namun, jika kerugian karena kesalahan mudharib (pengelola dana) yang sebabnya mengingkari perjanjian, misal dana yang diberikan kepada mudharib bukan untuk selain usahanya. Maka, si mudharib harus tetap mengembalikan pembiayaannya. Sebagaimana keputusan Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh) point 6 bahwa LKS (Lembaga Keuangan Syariah) sebagai penyedia dana menanggung semua kerugfian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesaqlahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
Semangat demikian berbeda dengan praktek ekonomi konvensional yang menggunakan bunga. Bagi anggota (nasabah) yang tertimpa musibah, di atas apapun keadaan debitur (peminjam) harus tetap mengembalikan kepada debitur (pemberi kredit) pokok pinjaman ditambah bunganya jika sudah jatuh tempo. Maka dalam kasus seperti ini, praktek ekonomi syariah lebih manusiawi dan berkeadilan ketimbang ekonomi konvensional. Artinya, dalam ekonomi syariah, pembiayaan dengan menggunakan skema akad mudharabah jika terjadi sebagaimana ilustrasi di atas, maka kerugian finansial sepenuhnya ditanggung oleh shohibul mal sedang mudharib kerugian waktu dan tenaga dan tidak dapat apapun dari pekerjaannya. Di sinilah perbedaan yang mendasar antara praktek ekonomi konvensional dan ekonomi syariah.
Lalu bagaimana jika peristiwa di atas menggunakan akad murabahah, apakah praktek ekonomi syariah juga memperlakukan sama, yaitu menghapuskan sisa pembiayaan? Kaitannya dengan murabahah, anggota yang mengalami musibah diluar prediksi (force majeur) sehingga tidak dapaat memenuhi kewajiban untuk mengembalikan angsurannya sebagaimana yang disepakati dalam akad. Maka dengan perspektif syariah yaitu merujuk pada Fatwa DSN-MUI No. 48/2005 tentang Penjadwalan Kembali tagihan Murabahah, pihak LKS melakukan rescheduling terhadap anggotanya. Penjadwalan ulang tersebut penting dilakukan guna mengurangi beban anggota untuk mengembalikan.
Ketentuan tentang pemberian kemudahan dengan menjadwal ulang serta perpanjangan masa pembayaran, harapannya anggota dapat memahami dan mengembalikan usahanya, sehingga anggota dapat memenuhi kewajibannya. Namun dalam kondisi yang sangat tidak mungkin anggota tidak dapat mengembalikannya, kebijakan penghapusan pembiayaan sangat mungkin dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H