Dimas merasa tertantang. "Apa salahnya dicoba? Lagipula ini cuma cerita."Â Â
Sore itu, ia memutuskan untuk mencari tahu lebih jauh. Ia mengobrak-abrik gudang, berharap menemukan petunjuk lain. Di salah satu sudut, ia menemukan sesaji sederhana: bunga kantil kering, lilin, dan segelas cawan kecil. Â
"Apa kakek pernah benar-benar mencoba ritual ini?" pikir Dimas. Â
Malam harinya, rasa penasaran Dimas semakin memuncak. Kebetulan, malam itu adalah Jumat Kliwon. Â
Ketika jarum jam menunjukkan pukul 11:45, ia membawa buku catatan dan sesaji ke kebun belakang rumah. Tempat itu dulunya adalah kuburan tua, kini ditumbuhi alang-alang dan pohon bambu. Â
Dengan hati-hati, ia menyiapkan sesaji sesuai instruksi di buku. Setelah semuanya siap, ia duduk bersila di depan lilin yang menyala dan mulai membaca mantra:Â Â
"Hei penghuni malam, yang terikat kain putih, datanglah. Aku memanggilmu di malam keramat ini."
Awalnya, tak ada yang terjadi. Namun, beberapa menit kemudian, angin dingin bertiup kencang. Lilin padam, dan suara gemerisik terdengar dari semak-semak. Â
Dimas merasa bulu kuduknya meremang. Ia mencoba tetap tenang, tapi ketika ia mendongak, sosok putih itu sudah berdiri di depannya. Wajahnya membusuk, matanya kosong, dan kain putih yang membungkusnya kotor oleh tanah. Â
"Ka-kau siapa?" tanya Dimas dengan suara bergetar. Â
Sosok itu tak menjawab. Perlahan, ia mendekat. Â