Mohon tunggu...
Muhammad Nurul Huda
Muhammad Nurul Huda Mohon Tunggu... wiraswasta -

tuan punya kekuasaan, saya punya pena

Selanjutnya

Tutup

Politik

Neo-Otoritarisme Pemilu 2014

13 Juni 2014   00:22 Diperbarui: 20 Juni 2015   04:00 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Siapa yang tidak ingat dengan tangan besinya Soeharto, di zaman itu tidak ada satupun yang boleh berbeda pendapat apabila telah diputuskan oleh Soeharto. Perkataan Soeharto adalah keputusan yang tertinggi dan sekaligus titah seorang Raja tertinggi yang harus dipatuhi oleh seluruh rakyat Indonesia. Tak jarang, siapa-siapa yang berbeda pendapat dan berseberangan dengan Soeharto pada zaman itu ditangkap bahkan sah untuk dibunuh demi menyelamatkan agenda pembangunan yang berkonsep Repalita (Rencana Pembangunan Lima Tahun).

Perjalanan Konsep Repalita Soeharto dari Repalita 1-5 nyaris berjalan mulus. Akan tetapi, memasuki Repalita keenam mulai semboyongan, dan nyaris zaman Repalita keenam tidak ada kemajuan yang berarti. Memasuki Repalita ketujuh umurnya tidak sampai 2 tahun. Kita tidak mengetahui sebabnya secara pasti, ada yang mengatakan Soeharto sudah tidak setia lagi kepada tuannya yang bermarkas di Washington, ada yang mengatakan Soeharto sudah mulai dekat dengan umat Islam, dan ada yang mengatakan bahwa Soeharto pada saat itu kebijakannya sudah memihak keapda kepentingan penguasaha pribumi. Tentunya masih banyak lagi isu-isu yang tersebar diluar sana yang sulit diverifikasi kebenarannya. Yang jelas, kejatuhan Soeharto itu banyak sebabnya, dan finishingnya adalah adanya gerakan mahasiswa untuk menjatuhkan Soeharto dan mendesak sidang istimewa, yang pada akhirnya Soeharto berhenti sebagai Presiden Indonesia.

Zaman Soeharto telah berlalu, akan tetapi model-model dan cara-cara Soeharto memimpin pada saat sekarang ini mulai muncul bibit-bibinya. Akan tetapi caranya saja yang berbeda, dulu memakai kekuatan fisik dan senjata. Sekarang dengan menggunakan terror psikologis. Caranya Soeharto yang berbeda akan ditangkap, dan di kerangkeng jika perlu dibunuh, sekarang yang berbeda akan dituduh sebagai orang yang tidak beradab, penindas, dan tidak mengetahui apa yang diinginkan rakyat.

Begitulah cara pendukung fanatikus Jokowi melebeli kita sekarang ini. Seenaknya otaknya melabeli orang yang senang dengan Prabowo dikatakan sebagai pendukung pelanggar HAM (Hak Asasi Manusia). Jika kita ingin berbicara tentang pelanggaran HAM dan ingin berbicara kebenaran seharusnya kalian juga harus mengungkit pelanggaran HAM yang terjadi selama ini. Tertalu banyak pelanggaran HAM setelah Indonesia merdeka. Sebut saja misalnya, pelanggran HAM sebelum tahun 1965, setelah tahun 1965, Talangsari, Semanggi I dan Semanggi II, Pembunuhan Aktivis Ham Munir dan Mesuji.

Tetapi kenapa para fanatikus dan pemuja Jokowi tidak melakukan itu, apakah karena demi ambisi politik untuk memenangkan Jokowi sebagai Presiden kalian hanya memungut dugaan pelanggaran HAM untuk menyudutkan Prabowo. Padahal, Kasus pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh Prabowo masih dan sedang diselidiki oleh Komnas HAM. Siapapun yang melakukan pelanggaran HAM harus diseret ke pengadilan. Karena masih dalam proses hukum marilah kita hormati karena, Negara Indonesia ini bukan Negara bar-bar, tapi Negara Indonesia adalah Negara hukum.

Melihat cara fanatikus capres sebelah berdemokrasi seperti itu, itu artinya kita sudah mengembalikan bibit-bibit Neo-Otoritarisme. Cobalah capres sebelah berpikir dengan hati yang jernih dan hati yang baik. Apa yang telah dilakukan Jokowi selama menjabat sebagai gubernur Jakarta. Menurut saya tidak ada satupun yang bisa dibanggakan.

Jokowi masuk Got, Jokowi Sholat, Jokowi senyum, Jokowi blusukan semuanya diberitakan secara massif oleh media-media. Apakah blusukan itu baru dilakukan oleh Jokowi. Jawabnya tidak, dari dahulu Soeharto telah melakukannya, tapi bedanya, dahulu Soeharto tidak mau diketahui media, tetapi sekarang Jokowi mau diketahui oleh media. Bukankah apa yang dilakukan oleh Jokowi itu bisa dikatakan “Ria”?

Sekarang, fanatikus capres sebelah kaget tidak ketolongan, Jokowi yang biasanya dipuja-puji dan “dinabikan” menuai kritikan dari seluruh penjuru Indonesia. Ada yang mengatakan tidak berwibawa, tidak mencerminkan sikap pemimpin yang amanah, dan tidak merupakan sikap yang konsisten terhadap ucapan yang telah dikeluarkannya.

Bentuk-bentuk kritikan seperti itu seharusnya dijadikan perbaikan bagi timses, fanatikus dan pemuja Jokowi, bukan melakukan terror psikologis dengan mengatakan rakyat yang mengkritik jokwi sebagai orang bayaran Pendukung pelanggar HAM, pendukung penindas rakyat, dan tidak ramah pada rakyat miskin, dan masih banyak terror psikologis lainnya yang dilontarkan fanatikus dan pemuja Jokowi dengan segala argument sotoloyonya.

Melihat apa yang telah dan sedang dilakukan Fanatikus dan Pemuja Jokowi ini merupakan suatu bentuk kemunduran dalam era demokrasi yang berpendapat dengan terukur dan santun. Untuk itu, apabila terror psikolos ini masih dilakukan oleh fanatikus dan Pemuja Jokowi, jangan anggap rakyat akan bersimpati kepada Jokowi.

Namun saya tidak yakin, Fanatikus dan Pemuja Jokowi akan merubah sikapnya untuk melakukan terror psikologis, karena Jokowi saja tidak memerintahkan Fanatikus dan Pemujanya untuk berkampanye santun dan menyejukkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun