Tepat pada tanggal 3 Maret 2014, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menguji pengawal konstitusi. Ada 7 (tujuh) orang yang akan diuji Komisi III DPR untuk menggantikan Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang segera pensiun dan Hakim MK yang non-aktif karena tertangkap korupsi. Ketujuh nama tersebut adalah bergelar akademis tertinggi yaitu bergelar Doktor Ilmu Hukum.
Ketujuh orang tersebut adalah, Sugianto, Wahiduddin Adams, Ni'matul Huda, Franz Astaani, Ati Llatipulhayat, Aswanto, Dimyati Natakusumah (detiknews). Melihat dari segi pendidikan formal, ketujuh orang calon pengawal konstitusi tersebut sampai sekarang memang tidak punya masalah yang berarti. Namun, sebagai calon pengawal konstitusi harusnya tidak hanya mempunyai gelar, tetapi sudah ada sumbangsihnya melalui penelitian dan konsep yang ditawarkan dalam mengawal konstitusi.
Mengawal konstitusi bukan seperti mengikuti bunyi undang-undang sebagaimana yang diterapkan Hakim yang berada dibawah Mahkamah Agung. Mengawal konstitusi berarti mengawal berjalannya undang-undang agar tidak melenceng dari konstitusi.
Bagaimana mungkin rakyat percaya dengan calon pengawal konstitusi saat ini, sedangkan namanya belum pernah terdengar di media tentang konsep-konsep yang ditawarkan apabila terjadi kekisruhan atas polemik yang terjadi atas uji materi undang-undang maupun sengketa pemilukada. Sebut saja misalnya, terkait dengan uji materi yang dilakukan oleh Effendi Gazali dan Yusril Izha Mahendra terkait dengan pemilu, penulis tidak pernah mendengar calon pengawal konstitusi saat ini memberikan komentar-komentar bahkan solusi yang tawarkan untuk menyelesaikan permasalahan yang sudah dan bahkan sedang berlangsung.
Melihat kondisi yang demikian tersebut, penulis mengusulkan agar Komisi III DPR segera mengembalikan nama-nama tersebut kepada Tim Panitia Seleksi (Pansel). Bagaimana mungkin menguji kenegerawanan pengawal konstitusi jika terjadi suatu polemik yang sedang hangat di berbagai media cetak atau elektronik calon pengawal konstitusi tidak muncul memberikan solusi yang cerdas yang sesuai dengan konstitusi.
Bukankah sebelum menjadi calon pengawal konstitusi, rakyat perlu tahu mazhab hukum yang dianut oleh seorang calon pengawal konstitusi sebelum membicarakan kenegerawanan calon pengawal konstitusi? Oleh karena itu, daripada rakyat melalui Komisi III DPR seperti “membeli kucing dalam karung”, lebih baik semua calon pengawal konstitusi ditolak dan dikembalikan ke Tim Pansel Hakim Konstitusi. Semoga!
*mungkin tulisan ini jelek, tapi anda sudah menjadi pembaca yang baik
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI