"Resensi Cerpen"
Oleh Muhammad Nur Islamadina
Identitas Buku Kumpulan Cerpen
Judul Umum Buku: Mata Yang Jatuh Kasihan
Nama Pengarang: Sori Siregar
Penerbit: Departemen Kebudayaan dan Pariwisata RI
Jumlah Halaman: 170 Halaman
Tanggal Terbit: Desember 2006
Kota Terbit: Jakarta
Editor: Lecha Surayanin Diah
Illustrator Cover: Stefana Hendra
Resensi :
Buku kumpulan cerpen Mata Yang Jatuh Kasihan adalah karya dari sosok sastrawan Indonesia yang cukup terkenal bagi para penggemar karya sastra. Dari kumpulan cerpen yang ada di dalam buku ini, kita melihat kuatnya runtut cerita yang realistis, mudah dicerna, tetapi mengandung makna yang cukup mendalam. Pada sejumlah cerpennya yang dapat dinikmati dalam buku ini, kita menyaksikan bagaimana penulis menyajikan sebuah potret sosial yang terkadang begitu sederhana, namun di lain kesempatan, ia juga menggambarkan dengan penuh perenungan yang dalam. Kesemuanya itu telah mengantarkan pembaca ke dalam bentuk kesadaran hidup yang dinamis.
Dunia sastra memang demikian. Sastra yang bermutu adalah sastra yang menggugah pikiran dan perasaan. Sehingga pada suatu ketika, tanpa harus pernah mengalami, seorang pembaca bisa larut dalam sebuah kesedihan, kesenangan, pergulatan batin, wacana, atau bahkan impian.
Sekertaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
Dr. Sapta Nirwandar
Dari pernyataan di atas dapat kita lihat bahwa sebuah karya yang telah ditulis oleh Sori Siregar dapat menggugah pikiran dan perasaan seorang pembaca. Hal itu dapat dirasakan ketika membaca karyanya yang penuh dengan kata-kata yang agak kurang dipahami, mengapa begitu? Karena, ada beberapa kata yang kurang dipahami oleh saya sebagai pembaca yang masih dibilang awam untuk memahami maksud yang terkandung dalam cerita. Ketika itu, saya dibantu oleh KBBI V untuk dapat memahami maksud yang akan disampaikan oleh penulis. Hal tersebut dapat mempermudah saya dalam memahami cerita.
Buku yang ditulis oleh Sori Siregar terdapat 21 judul di dalamnya. Cerpen pertama yang membuka dalam buku ini berjudul "Tube". Cerita ini menceritakan seorang pensiunan kolonel yang bernama Robert Dougall menjelaskan tentang ketidakjujuran, perang dan kejantanan ketika ia sedang berada dalam deresi kereta yang menuju rumah sakit keponakannya berbaring. Ia harus menempuh perjalanan menggunakan kereta dengan melewati 18 stasiun, sehingga ia bisa sampai di tempat keponakannya itu.
Sepanjang perjalanan itu, sang kolonel mengajak orang yang disebelahnya berbincang mengenai apa yang telah disebutkan tadi yaitu berbicara tentang ketidakjujuran, perang dan sebagainya. Salah satunya yaitu ketika berbincang dengan seorang wanita tua, yang mana suaminya adalah seorang buruh kereta api, ia merasa dihina ketika Roubert menjelaskan bahwa para buruh melakukan hal yang sangat tidak bermanfaat dengan cara mogok kerja.
Sang wanita tua itu pun membalas dengan mengatakan ia benci kepada para pensiunan kolonel-kolonel. Lalu, sang wanita tua itu turun di stasiun berikutnya. Roubert merasa ia belum sempat membalas perkataan dari wanita tua itu, ia menjadi mendongkol sendiri, ia merasa jasanya tidak dihargai selama darma baktinya kepada kerajaan. Setelah sampai di rumah sakit dan berbincang dengan kemenakannya itu, ia terus saja membicarakan seperti sebelumnya. Ternyata usut punya usut ia rindu dengan teman seperjuangannya di militer yang dapat menerima pandangan, gagasan dan buah pikirnya, dan pada akhir cerita pun ia masih saja menjelaskan tentang ketidakjujuran, perang, kejantanan dan sebagainya.
Cerpen berikutnya berjudul "Rubbish". Bercerita tentang beberapa pemuda yang bernama Harmain, Aku, dan Mansur sedang membicarakan tentang berbagai hal yang sedang terjadi di kota-kota besar baik di dalam dan luar negeri. Diantara kota besar tersebut adalah Manhattan dan Jakarta. Manhattan telah menjadi bapak dari segala yang modern, intelektual dan lain sebagainya. Sedangkan di Jakarta, ia melihat bahwa omong kosong sebenarnya berasal dari kota ini dan seharusnya orang yang berbicara omong kosong juga harus dibuat made in seperti produk-produk lain dan omong kosong ini disebarkan ke desa-desa terpencil.