Mohon tunggu...
Muhammad Nur Hasan
Muhammad Nur Hasan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya Muhammad Nur Hasan Mahasiswa Hukum Tata Negara Fakultas Syariah di Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Menulis bagiku suatu kebutuhan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Filsafat dan hukum menjadi genre keilmuan yang saya minati. Diskusi dan kajian adalah kegiatan yang menarik untuk mempertajam pola pikir kritis dan harus dilestarikan di lingkungan akademisi. Terus berproses dan mengembangkan kualitas intelektual menjadi fokus utama yang harus saya lakukan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Kasultanan Sambaliung

13 Juli 2024   22:35 Diperbarui: 13 Juli 2024   22:45 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Kesultanan Sambaliung adalah salah satu kerajaan di Kalimantan Timur yang berdiri pada 1810. Daerah Kesultanan Sambaliung saat ini menjadi Kecamatan Sambaliung, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Kasultanan sambaliung merupakan pecahan dari Kerajaan Berau yang diakibatkan oleh politik divide et impera dari Belanda.  Sebelumnya , kasultanan sambaliung ini bernama Tanjung yang kemudian diganti menjadi Batu Putih dan akhirnya Sambaliung pada 1849. Setelah berdiri selama satu setengah abad, riwayat Kesultanan Sambaliung berakhir pada 1960, ketika wiayahnya digabungkan dengan Gunung Tabur menjadi Kabupaten Berau.

A. Sejarah Berdirinya Kasultanan Sambaliung

  • Masa Kolonial Belanda

            Kasultanan Sambaliung terletak di Kabupaten Berau, Provinsi Kalimantan Timur. Akibat politik divide et impera (pecah belah) yang dilakukan oleh Belanda, Kerajaan Berau pecah menjadi dua, yaitu Kasultanan Sambaliung dan Kasultanan Gunung Tabur. Pada awalnya, Kasultanan Sambaliung ini memiliki nama Tanjung yang kemudian diubah menjadi Batu Putih, dan pada akhirnya bernama Sambaliung pada tahun 1849. Raja Alam yang memiliki gelar Sultan Alimuddin merupakan raja pertama dari Kasultanan Sambaliung. Menurut catatan sejarah, Aji Dilayas Raja Berau ke-9 memiliki dua orang putra , yaitu Pangeran Tua dan Pangeran Dipati. Berdasarkan silsilah keturunan Berau, Raja Alam berasal dari keturunan Pangeran Tua.

            Raja Alam dikenal sebagai raja yang gigih dalam menentang penjajahan Belanda pada waktu itu. Ia menyadari tujuan Belanda ke Berau adalah untuk melakukan politik divide et impera ( pecah belah) yang mengakibatkan pecahnya Kerajaan Berau menjadi dua. Raja Alam berusaha mencari cara supaya rencana belanda untuk melakukan politik pecah belah ini bisa digagalkan yaitu dengan cara mengadakan kerjasama dengan para pejuang Bugis, Sulu, dan Makassar. Sebagai persiapan awal dalam menghadapi Belanda, dibangunlah sebuah benteng yang sangat kokoh di Batu Putih, Tanjung Mangkalihat. 

           Namun, Belanda sudah tau strategi yang akan dilakukan oleh Raja Alam, sebagai bentuk antisipasi, Belanda menyiapkan angkatan lautnya semenjak April 1834. Belanda melakukan tuduhan terhadap Raja Alam, dimana Belanda membuat siasat dengan cara membuat pengaduan seolah-olah Raja Aji Kuning II (Raja Gunung Tabur) telah melaporkan kepada Belanda bahwa kapal-kapal Belanda dibajak oleh pengikut dan sekutu dari Raja Alam dengan disertai bukti palsu. Padahal, tidak ada kapal yang dibajak dan Raja Kuning II tidak pernah mengadu kepada Belanda terkait pembajakan kapal-kapal Belanda. Jadi, semua itu merupakan siasat Belanda agar bisa melakukan ekspedisi penghukuman terhadap  Raja Alam.   

            Pada September 1834 , Belanda mengirimkan pasukan yang terdiri dari empat buah kapal perang dan pasukan yang dipimpin oleh Kapten Laut Anemaelt untuk menyerang central pertahanan Raja Alam. Raja Alam dengan dibantu sekutunya yaitu pejuang Bugis, Sulu beserta menantunya yang bernama Syarif Dakula yang berasal dari Sulu, melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan gigih. Akan tetapi, Belanda sudah mempersiapkan strategi dengan matang yang mengakibatkan pasukan Raja Alam dan sekutunya terdesak ke Tanjung dan bertahan di Muara Lasan. Di tempat ini juga, Raja Alam dikalahkan dan  ditawan oleh Belanda. 

             Hal ini dimanfaatkan oleh Belanda, supaya Syarif Dakula menyerah dan mau bekerja sama dengan Belanda. Kemudian, Syarif Dakula diperintah oleh pihak Belanda untuk datang di kapal perang Belanda guna melakukan perundingan. Dalam perundingan yang berlangsung, Syarif Dakula tetap menolak untuk bekerja sama dengan pihak Belanda, dan  memilih untuk terus melakukan perlawanan terhadap Belanda. Pada akhirnya, Syarif Dakula-pun ditangkap dan hendak diasingkan ke Makasar bersama Raja Alam. Akan tetapi, ketika Syarif Dakula ditangkap, ia melakukan perlawanan yang pada akhirnya Syarif Dakula tewas dan mayatnya dibuang ke laut oleh pihak Belanda. 

             Ratu Ammas Mira yang merupakan istri dari Syarif Dakula beserta anaknya ikut melompat ke laut, namun keduanya masih dapat diselamatkan. Berdasarkan referensi atau sumber lain menyebutkan bahwa, Syarif Dakula mengamuk di kapal dan melukai beberapa tentara Belanda, kemudian ia melompat ke laut bersama anak dan istrinya. Namun, hanya anak dan Istrinya yang bisa diselamatkan. Karena situasi pada waktu itu dianggap mengancam Belanda, maka Raja Alam disandera dan diasingkan Belanda ke Makassar.

            Setelah Belanda mengasingkan Raja Alam, pada 27 September 1834 Belanda membuat perjanjian dengan Kasultanan Gunung Tabur yang isi dari perjanjian tersebut adalah diserahkannya pengelolaan Sambaliung kepada Kasultanan Gunung Tabur dengan Pangeran Muda dari Kutai dan keluarga dari Istri Raja Alam sebagai pelaksananya. Hal ini bertujuan agar dapat meredakan kekacauan yang terjadi sepeninggal Raja Alam, dimana para pengikut dari Syarif Dakula dan Pangeran Petta mengancam keamanan, bahkan Muara Bangun sebagai tempat singgah sultan Gunung Tabur diserang oleh pejuang Bugis dan Sulu. 

           Maka dari itu, segala pengelolaan Sambaliung diserahkan kepada Pangeran Muda asal Kutai yang merupakan kerabat dari Raja Alam. Namun, apa yang telah dilakukan Belanda itu tidak menjadikan kekacauan ini Reda, sehingga Sultan Aji Kuning II dari Gunung Tabur mengirimkan permohonan supaya Raja Alam di serahkan kembali ke Sambaliung.

            Pada Akhirnya, Belanda setuju dengan permohonan Sultan Aji Kuning II dan pada 15 September 1836 Raja Alam di pulangkan kembali ke Sambaliung. Setahun kemudian, pada 24 Juni 1837 Raja Alam dan keluarganya diizinkan untuk tinggal dan kembali ke Batu Putih dengan syarat ia harus bersedia menjadi bawahan dari Kasultanan Gunung Tabur dan memberi pengakuan terhadap kekuasaan pemerintah Hindia Belanda. Namun demikian, Raja Alam menolak untuk tunduk kepada kolonial Belanda yang sudah tujuh tahun lamanya membujuk Raja Alam. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun