Belakangan ini sudah ramai di media social dan berbagai platform pemberitaan terkait tiga bakal calon presiden. Semenjak pengumuman ketiga bakal calon presiden yang akan berkontestasi di pilpres 2024, ketiga bacapres tersebut tak luput dari pemberitaan. Lalu bagaimana dengan bakal calon wakil presiden?
Banyak hasil survei yang telah menempatkan bebarapa nama teratas sebagai bakal calon wakil presiden. Beberapa kandidat yang menempati survei teratas sebagai bakal calon wakil presiden diantaranya yaitu Erick Thohir, Prof. Mahfud MD, Ridwan Kamil, Airlangga Hartanto, Agus Harimurti Yudhoyono, bahkan sampai Gibran Rakabuming Raka putra sulung Presiden Joko Widodo.
Sempat mengejutkan publik mengenai kandidat bakal calon wakil presiden perempuan. Beberapa nama yang sempat ramai diperbincangkan yaitu Yenny Wahid, Khofifiah Indar Parawansa, Susi Pudjiastuti, hingga Sri Mulyani. Namun menurut hasil beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa kandidat Perempuan bakal calon wakil presiden menempati peringkat bawah.
Kita ambil contoh, menurut survei Polling Institute Khofifah mendapat elektabilitas 5,5%. Sedangkan survei yang dilakukan oleh Indikator Politik menunjukkan Khofifah 2,5% dan Susi Pujiastuti 1,9%. Mengapa survei menunjukkan elektabilitas kandidat Perempuan lebih rendah ketimbang laki-laki?
Hal yang paling umum adalah karena adanya bias gender. Hasil survei dari Lembaga Survei KedaiKOPI menunjukkan sebesar 65,8% responden tidak ingin memilih perempuan. Senada dengan hal tersebut, penelitian dari Center for American Women and Politics (CAWP) menyebutkan bahwa kandidat perempuan harus mempunyai performa premium yang membuat mereka disukai Masyarakat dan membutuhkan kualifikasi tinggi. Sementara itu, kandidat pria dapat memperoleh dukungan suara meskipun kurang disukai oleh sebagian kalangan.
Kurangnya ekspos dari kandidat perempuan yang menjadi sorotan juga menyumbang rendahnya elektabilitas. Kandidat perempuan kurang mampu untuk mengekspos diri di media, sehingga Masyarakat kurang aware dengan adanya figur perempuan tersebut. Apalagi dengan peran media social yang sangat masif, seharusnya kandidat perempuan harus lebih berupaya menjalin interaksi dengan masyarakat.
Budaya dan kepercayaan masyarakat Indonesia juga tak kalah berpengaruh untuk mendulang suara terutama dalam elektabilitas. Menurut mayoritas masyarakat berpendapat bahwa laki-laki yang menjadi kodrat pemimpin, sebagian lainnya lagi mengatakan bahwa perempuan dinilai kurang tegas dan kurang berwibawa.
Disisi lain, perempuan dinilai kurang berpartisipasi aktif dalam kontes politik baik secara regional maupun nasional. Studi dari Citizen Political Ambition Study yang dilakukan selama 20 tahun di US menunjukkan adanya gender gap antara perempuan dan laki-laki sebesar 16%. Angka ini menunjukkan laki-laki masih mendominasi dalam kontes pencalonan diri mereka.
Secara keseluruhan, dampak tinggi rendahnya elektabilitas calon wakil presiden perempuan sangat kompleks dan tergantung pada berbagai factor termasuk iklim politik, kualifikasi dan pengalaman kandidat, dan pandangan masyarakat terhadap gender stereotypes. Semakin tinggi kredibilitas, pengalaman dan kualifikasi serta pandangan positif masyarakat maka akan meningkatkan elektabilitas kandidat Perempuan.
Untuk memperoleh suara yang tinggi dan memenangkan kontestasi politik, perempuan seperti dihadapkan dengan jalan yang pelik. Beberapa hal dapat dilakukan untuk menunjang kandidat calon perempuan dalam kontes politik terutama sebakan bakal calon wakil presiden. Pertama, perempuan haruslah meningkatkan kualifikasi dan kompetensi mereka sebagai bakal calon. Kedua, parpol perlu mengorganisir dan mendorong perempuan untuk maju sebagai kandidat. Ketiga, meningkatkan ekspos media terhadap bakal calon Perempuan. Keempat, memberikan pemahaman kepada masyarakat terhadap kesetaraan gender.