Mohon tunggu...
Muhammad Nicklas Nizam
Muhammad Nicklas Nizam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

MEMBACA BUKU

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Tranformasi Global: Dialog antara Regionalisme dan Sentralisme

20 Desember 2023   12:10 Diperbarui: 20 Desember 2023   12:24 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Jika saja ada yang berkata bahwa sejarah kontemporer Indonesia setelah pengakuan dan penyerahan kedaulatan bisa disarikan dalam satu ungkapan saja, siapapun akan segera menolaknya sambil tertawa. Uraian sejarah yang lengkap dan detail sekalipun tidak mungkin bisa menangkap seluruh kompleksitas dari realitas sejarah empiris yang sesungguhnya. Jadi, mengatakan seluruh dinamika sejarah dalam dua-tiga kata adalah suatu kesia-siaan belaka. Karena bagaimanapun juga ‘sejarah sebagai hasil rekonstruksi realitas di masa lalu’ hanyalah bayangan saja tentang sesuatu yang berada di sana, di masa lalu itu, dan tidak akan mungkin diaktualkan kembali di sini, di masa ini.

Tetapi kalau ungkapan itu adalah ‘masalah otonomi dan regionalisme’ maka ingatan atas berbagai peristiwa yang menantang keutuhan bahkan eksistensi negara datang begitu saja. Meskipun menyadari bahwa sejarah yang merupakan hasil rekonstruksi kritis dari untaian peristiwa di masa lalu tidak bisa dan tidak mungkin diredusir hanya dengan sebuah ungkapan yang berbau slogan, namun terpaksa juga dilalukan. Sepintas lalu ungkapan sederhana masalah regionalisme, sebagai hasrat masyarakat-daerah untuk mendapatkan tempat yang ‘dianggap’ wajar dalam konstelasi kenegaraan, otonomi, sebagai hak relatif yang dipunyai untuk mengurus masalah internal kedaerahan, dan desentralisasi atau, problematik pembagian kekuasaan antara pusat pemerintahan dan daerah, yang terwujud dalam corak hubungan antara keduanya, terasa juga bisa dipakai sebagai hipotesa kesejarahan yang paling awal. Jika benar revolusi nasional secara konseptual telah membuat batas-pemisah yang tegas antara masa kekuasaan kolonial dengan berdirinya negara-bangsa, sudah terlepaskah kesatuan politik yang didukung oleh hasrat nasionalisme ini terlepas dari dikotomi ‘Jawa’ dan ‘luar Jawa’, baik dalam wacana maupun dalam perencanaan dan pelaksaan kebijaksanaan pemerintahan? Kalau saja jawabnya ‘tidak’ ataupun ‘belum’ maka hipotesa kesejarahan ‘masalah regionalisme dan otonomi’ sebagai tema utama dari dinamika politik masih bisa dianggap sah. Baik secara ideologis, maupun konstitusional, Republik Indonesia tidak mengenal adanya perbedaan hak daerah dan etnis, betapapun realitas antropologis dan historis memperlihatkannya. Maka adalah tugas negara untuk menjadikan kesemuanya secara politik dan administrasi pemerintahan tidak relevan. Pemerintah sebagai pengemban kehidupan kenegaraan harus berbuat sesuai dengan rasionalitas yang berdasarkan kesatuan bangsa. Meskipun demikian, bagaimanakah menghindarkan diri dari fakta sederhana bahwa konsep dan makna keadilan dan kewajaran itu adalah keniscayaan yang sarat nilai? Maka ketegangan bahkan konflik pun tidak selamanya bisa terhindarkan. Tetapi baiklah, masalah ini ditinjau lebih lanjut, meskipun, tentu saja, bersifat sugestif saja.

Pembahasan ini berjudul Regionalisme dan Sentralisme pada awal-awal masa kemerdekaan, pembahasan ini berangkat dari wilayah colonial yang terdiri atas dua unit yang berbeda yaitu 'Java' dan 'Buitenbezittingen' yang kemudian disebut 'Buitengewesten'. Istilah 'Jawa' dan 'Luar Jawa', secara garis besar jurnal ini memiiki tiga sub judul yaitu (1) Kegelisahan daerah dalam konteks Negara Nasional (2) Tumbuh dan tumbangnya Sentralisme yang Ekstrim (3) mendapat kearifan sejarah?

Pembahasan yang pertama dengan judul 'Kegelisahan Daerah dalam Konteks Negara Nasional' membahas mengenai perjalanan Indonesia bahkan saat Indonesia sendiri belum terbentuk, penulis menceritakan dari awal tahun 1920 yang kemudian 20 tahun kemudian masyarakat kita benar-benar berjuang sebagai Indonesia walaupun dikemudian hari 'Indonesia' ini masih menjadi perdebatan mengenai bentuk negara itu sendiri. Dalam tulisan ini dijelaskan secara rinci tentang keadaan Indonesia bahkan setelah dibacakannya Proklamasi dan disahkan sebagai negara merdeka digambarkan secara jelas oleh penulis mengenai hambatan-hambatan yang terima Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, dari mulai konsep ‘putra bangsa’ harus diterjemahkan menjadi ‘warga negara’, ‘tanah air’ menjadi ‘negara’ dengan batas-batas wilayah yang jelas, dan cita-cita ‘demokrasi’ disalin ke dalam sistem kenegaraan dan bentuk pemerintahan,belanda yang Kembali menduduki Indonesia setelah ndonesia merdeka, sampai keputusan bentuk dari negara Indonesia yang sempat menjadi RIS lalu dirubah Kembali menjadi NKRI pada tahun 1950.

Lalu dalam pembahasan kedua yang berjudul Tumbuh dan Tumbangnya Sentralisme yang ekstrim. Barulah didalam pembahasan ini dijelaskan mengapa ada istilah 'Java' dan orang luar Jawa. Penulis menjelaskan bahwa alasan paling logis mengenai mengapa Jawa menjadi sentral karena Jawa yang terletak strategis ditengah-tengah kepulauan Nusantara, selain itu sejak masa colonial Jawa sudah terbiasa menjadi pusat pemerintahan dan pusat ekonomi. Lalu di kemudian hari Jawa menjadi magnet bagi para pendatang untuk merasakan pendidikan modern dan sebaliknya para pekerja berangkat keluar jawa untuk mendapat pekerjaan dalam hal ekonomi. Hal ini yang kemudian memunculkan anggapan bahwa pusat telah mengeksploitasi daerah mereka dengan pembenaran integritas nasional.

Hal ini terus berlanjut sampai tahun 1955 ketika pemilu pertama kali dilaksanakan, begitu terlihat partai memegang kuasa antara 'pendukung Jawa' dan pendudkung dari 'luar Jawa' hanya satu-satunya partai yaitu Masyumi yang mendapat kursi disemua daerah pemilihan juga, tidak seperti partai lain yang NU dan PKI yang kemudian hal ini berakibat pada penetapan Pancasila sebagai dasar Negara dibanidng yang memperjuangkan Islam. Suasana ini terus berlanjut tidak mengenakan dengan timbulnya semboyan 'kuda kaki empat' atau 'alle leden van defamilie aan de eettafel' (semua anggota keluarga ada dimeja makan) hal ini yang kemudia mendapat banyak penolakan. Setelahnya penulis terus membahas mengenai pergolakan politik di Indonesia sampai masa Orde Baru masuk.

Kemudian dalam pembahasan terakhir yang berjudul 'Mendapat Kearifan Sejarah?, penulis melanjutkan cerita mengenai masa masa reformasi lalu B.J. Habibie yang penulis bahasakan merasa kembali ke tahun 1950-an yang dimana desentralisasi masih dirasakan bahkan bukan lagi antara pemerintah provinsi dengan pusat, bahkan dari pemerintahan Provinsi kepada pemerintahan kabupaten. Seakan-akan dengan tiba-tiba pula reformasi mengingatkan masyarakat-bangsa akan kompleksitas dari sebuah negara-bangsa yang bukan saja bersifat multietnis, dengan segala embel-embelannya, tetapi juga terdiri atas wilayah-wilayah yang mempunyai sumber alam yang berbeda-beda. Regionalisme yang selama ini diperlakukan sebagai sesuatu yang “haram”, kini dengan berbagai kedok politik dan argumen sosial-ekonomis, bahkan antropologis, tampil ke permukaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun