Mohon tunggu...
Muhammad Nicklas Nizam
Muhammad Nicklas Nizam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

MEMBACA BUKU

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengenal KH. Wahid Hasyim Penggagas sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa"

30 Juni 2023   15:15 Diperbarui: 30 Juni 2023   15:21 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

KH Wahid Hasyim adalah salah seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU). Ia lahir di Jombang pada tanggal 1 Juni 1914. Dia dikenal cerdas dan memiliki perspektif pemikiran yang jauh ke depan, melampaui zamannya. Sikapnya sangat nasionalis, dalam arti memiliki kesadaran politik tinggi dalam konteks berbangsa dan bernegara. Sama halnya dengan ayahanda, Kiai Hasyim Asy'ari, beliau juga lahir dan besar di lingkungan pesantren. Sejak kecil, beliau sudah tekun mempelajari Al-Quran dan mendalami berbagai ilmu agama lainnya, baru menginjak umur 12 tahun beliau sudah dipercaya ayahnya untuk mengajarkan kitab Izzi ilmu gramatika Arab kepada adiknya Karim Hasyim. 

Semasa kanak, Wahid kecil terkenal sebagai sosok yang pendiam, ramah, dan pandai memikat orang. Hal inilah yang kelak menjadikannya sebagai sosok yang digemari oleh banyak kalangan. Menginjak usia 13 tahun, Abdul Wahid barulah memulai pengembaraannya ke berbagai pesantren di pulau Jawa, akan tetapi itu semua tidak berjalan lama sempat beberapa kali datang ke berbagai pesantren lalu pulang kembali ke rumahnya. Hal ini karena kecerdasannya yang begitu luar biasa, sehingga pengembaraan ke banyak masyayikh di pesantren bertujuan untuk menyambung sanad keilmuan yang telah ia kuasai. Bagi Wahid belajar otodidak di rumahnya sendiri lebih ia sukai, berbekal kecerdasannya yang luar biasa itu. 

Pada usia 18 tahun, Abdul Wahid Hasyim menunaikan ibadah haji. Di Tanah Suci, ia tidak hanya menimba ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga mengamati perkembangan global dari perspektif pusat dunia Islam. Semangatnya memajukan pola pikir umat, khususnya dimulai dari warga Nahdliyin. Itu kian tampak sejak kepulangannya ke Tanah Air.Sebagai pengajar, KH Abdul Wahid Hasyim muda memasukkan matapelajaran umum di Tebu Ireng. Para santri tidak hanya diajarkan bahasa Arab, melainkan juga bahasa-bahasa Eropa, semisal Inggris atau Belanda. Meskipun sempat ditolak kalangan kiai yang lebih tua, terobosan itu terus diterapkannya karena terbukti meningkatkan mutu pesantren.

Di ranah organisasi, Kiai Wahid Hasyim pernah menjadi Ketua Ma'arif pada 1938. Ia juga menjadi ketua Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI). MIAI kemudian berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan KH Masykur sebagai ketua dan KH Wahid Hasyim sebagai wakil ketua. Terakhir, ia menjabat sebagai ketua umum PBNU (1951-1953).    Di kancah politik, peran Kiai Wahid sangat menonjol. Ia berperan dalam menentukan fondasi dan bentuk negara bagi republik ini. Ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan yang merumuskan rancangan dasar negara. Kiai Wahid Hasyim bahkan sangat berperan dalam menjembatani pertentangan kalangan Islam dan nasionalis hingga tercapai kesepakatan bersama yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sebagaimana disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Rumusan 'Ketuhanan Yang Maha Esa' dalam Pancasila sebagai pengganti dari 'Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya' tidak terlepas dari peran Kiai Wahid Hasyim yang bersedia menerima penghapusan tujuh kata tersebut. Setelah Indonesia merdeka, ia menjabat Menteri Agama RI selama tiga periode yakni dalam Kabinet Hatta (1949-1950), Kabinet Natsir (1950-1951), dan Kabinet Sukiman (1951-1952). Saat tidak lagi menjabat sebagai menteri, ia mendirikan Liga Muslimin Indonesia bersama Abikusno Tjokrosujoso (PSII) dan KH Siradjuddin Abbas (Perti). 

Dalam kehidupan keluarga, ia dikaruniai enam orang anak hasil dari pernikahannya dengan Nyai Hj Solichah binti KH Bisri Syansuri. Putra-putri Kiai Wahid Hasyim adalah KH Abdurrahman Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi, KH Salahuddin Wahid, dr Umar Wahid, Lily Chodijah Wahid, dan Hasyim Wahid. Kini, jasadnya dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pesantren Tebuireng bersebelahan dengan makam sang ayah, KH Hasyim Asy'ari. Di pemakaman itu sekarang juga bersemayam putra sulungnya, KH Abdurrahman Wahid. 

Atas jasa-jasa yang telah ditorehkan, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Wahid Hasyim melalui Keputusan Presiden Nomor 206/1964 pada 24 Agustus 1964.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun