Mohon tunggu...
Muhammad Nauval
Muhammad Nauval Mohon Tunggu... Perawat - Perawat | Aceh Tulen

Pecinta Kopi Hitam Tanpa Gula

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Boro-boro Gugat Cerai, ke Pelaminan Saja Gak Ada Modal

6 September 2020   17:36 Diperbarui: 6 September 2020   17:55 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
[Sumber : Beritatagar ]

Kata " cerai " secara umum dianggap sebagai sebuah kata yang berkonotasi " perpisahan" yang begitu memilukan. Tidak sedikit pula yang memaknai kata " cerai " sebagai sebuah perasaan lega yang begitu diinginkan.

Bagi pasangan yang harus " cerai " karena hal-hal sepele, misal saat suami menalak istrinya disaat sedang emosi, atau karena berdebat yang harusnya dapat dibicarakan dengan akal sehat tapi malah berujung pada perceraian, maka hal ini bisa sangat memilukan dan menyedihkan.

Sebaliknya, perceraian bagi si tukang selingkuh hingga pelaku KDRT, " cerai " dalam konteks ini akan menjadi momen yang paling ditunggu oleh pasangannya.

Meski begitu, cerai bukanlah suatu perbuatan yang baik. Walau tidak memberikan dampak buruk bagi pasangan tersebut sekalipun. Masih ada anak-anak yang perlu dipertimbangkan perasaannya. Tidak semua anak bisa langsung menerima perceraian kedua orangtuanya. Diakui atau tidak, persoalan seperti ini akan membuat kondisi psikologis anak memburuk. Perubahan sikap, temperamen yang buruk, hingga berdampak pula pada hubungan sosialnya di masyarakat. Jadi sudah sepatutnya, kata " cerai " harus dihindari sejauh mungkin bagi semua pasangan.

Kata " cerai " bisa diartikan sebagai sebuah akhir dari satu hubungan yang " sah " secara hukum agama dan negara. Banyak hal yang menjadi penyebab pasangan memilih bercerai ketimbang melanjutkan pernikahannya. Ada juga pasangan yang " putus nyambung " beberapa kali dalam pernikahannya. Penyebabnya cukup beragam, dua diantaranya karena pernikahan dini dan soal ketidakcukupan ekonomi.

Usia muda merupakan masa paling sulit untuk mengalahkan keegoisan diri masing-masing. Banyak keputusan dibuat tanpa memikirkan dampak kedepan, salah satunya pernikahan. Kadang kita hanya menganggap pernikahan sebagai sebuah hal sepele yang dapat dengan mudah dilakukan oleh semua orang. Jika sebelum menikah kita terbiasa sendiri, maka setelah menikah kita harus terbiasa hidup berdua, sesimpel itu. Tetapi nyatanya tidak demikian.

Justru, terkadang orang yang sudah terbiasa sendiri ketika berumah tangga akan menjadi sangat risih dengan kehadiran orang lain di kehidupannya. Apalagi jika belum mengenal satu sama lain dengan baik, pasti akan menjadi semakin sulit. Belum lagi soal ekonomi, pasti juga akan menjadi masalah serius jika tidak bisa menafkahi keluarga dengan baik. Meski ada juga yang menganggap rezeki akan datang setelah menikah, itu tidak salah, namun belum tentu juga benar. Sudah sepantasnya, dua hal ini ditimbang-timbang lagi sebelum melangsungkan pernikahan.

Tidak Hanya digugat Cerai, Banyak Juga yang Ditinggal Nikah

Mari akhiri dulu sebentar soal cerai. Ditengah pandemi seperti ini ternyata banyak juga pasangan yang mendadak ditinggal nikah sebab tidak cukup mahar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun