Cut Meutia adalah seorang pahlawan nasional Indonesia yang dikenal karena perjuangannya melawan penjajahan Belanda di Aceh. Jejak perjuangannya dapat dikaitkan dengan nilai-nilai kemalikussalehan, yang meliputi integritas, keteguhan iman, dan pengabdian kepada masyarakat. Berikut adalah beberapa kaitan antara rekam jejak Cut Meutia dengan kemalikussalehan:
1. Keimanan yang Kuat
Cut Meutia adalah seorang Muslim yang taat. Keimanannya menjadi fondasi utama dalam perjuangannya melawan penjajah. Ia percaya bahwa melawan penindasan adalah bagian dari jihad fisabilillah, yang sejalan dengan prinsip kemalikussalehan: menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan moralitas.
2. Keteguhan dalam Perjuangan
Meski menghadapi tantangan besar, Cut Meutia tetap teguh memperjuangkan kebebasan Aceh dari penjajahan. Sikap ini mencerminkan nilai kesungguhan, keberanian, dan kejujuran yang menjadi inti dari kemalikussalehan.
3. Pengabdian kepada Rakyat
Cut Meutia tidak hanya berjuang untuk dirinya sendiri, tetapi juga demi kebebasan dan kesejahteraan rakyat Aceh. Kepeduliannya terhadap nasib masyarakat adalah contoh nyata dari pengabdian sosial, yang juga
Aceh, merupakan sebuah daerah yang kaya akan sejarah dan menjadi saksi bisu dari perjuangan seorang pahlawan nasional Indonesia dari daerah Aceh, Cut Meutia. Kisahnya terukir dalam sejarah Bangsa Indonesia. Cut Meutia juga disebut Cut Nyak Meutia, lahir pada tahun 1870. Anak dari Teuku Ben Daud Pirak dengan Cut Jah. Cut Meutia merupakan putri satu-satunya di dalam keluarga tersebut, sedangkan keempat saudaranya yag lain adalah laki-laki. Ia terkenal sebagai anak yang cantik, kulitnya putih bersih, tubuhnya tinggi semampai.Â
Semasa hidupnya, Cut Meutia sudah menikah sebanyak tiga kali. Suami pertamanya adalah Teuku Syamsarif atau yang dikenal Teuku Chik Bintara. Lalu, suami keduanya bernama Teuku Muhammad. Bersama suaminya, Teuku Muhammad atau lebih dikenal dengan Teuku Cik Tunong, Cut Meutia memulai perlawanan yang akan mengukir namanya dalam sejarah perjuangan bangsa.
Kepahlawanan Cut Meutia tidaklah tanpa dasar. Pada tahun 1964, Presiden Indonesia mengukuhkan keberaniannya melalui Surat Keputusan Nomor 107. Pada saat itu, Aceh menjadi saksi dari perlawanan mereka terhadap kumpeni Belanda yang dengan ganasnya ingin menguasai tanah air.