Mohon tunggu...
Muhammad Naf'an Fuadi
Muhammad Naf'an Fuadi Mohon Tunggu... wiraswasta -

maju perut pantang mundur

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ibu Mertua, Sebuah Kenangan

24 Desember 2014   20:34 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:32 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat menjalani sakit di masa-masaakhir hayat beliau datanglah sebuah berita yang cukup mengguncang hati. Salah satu cucu beliau,istri seorang kyai tarekat-yang menjadi sahabat kesayangantelah dipanggil kembali oleh sang kuasa.

Untuk menyampaikan sebuah berita duka itu tiada seorang pun yang mempunyai kuasa nyali. Termasuk istri saya dan juga semua adik dan kakaknya. Andai ditanya, pastilah tidak ada yang tega untuk memetik mendung dan hujan di parascantik ibunda tercinta kami semua.

Sungguh sebuah dilema. Menyampaikan berita apa adanya tentu akan membuat hati ibu kami sedih tiada terkira. Dan menyimpan rapat-rapat berita duka itu juga bukan pilihan bijaksana.Selalu adaresiko yang harus siap dihadapipadasetiap pilihan.

Secara lahiriyah, ibu kamiadalahseorang ibu sederhana seperti laiknya ibu-ibu para pembaca semua. Beliauadalah pendengaryang tulusbagi lawan bicara dan ibu yangbijaksanadi setiappilihankata-kata.Beliau adalah perempuan bersarung dan berhijab layaknya orang-orang jawa. Beliau bukanlah tipe ibukaya raya yang sanggup membuat orang-orang memujalalu mendekat karena kemilau harta. Pendek kata, beliau tidak masyhur di duniaSatu-satunya harta beliau yang paling berharga adalah sembilan anak yang telah dewasa dan diasuh dengan keluasan jiwa.

Setiap orang yang dekat dengan ibu kami hampir bisa dipastikan bahwa mereka menganggap ibu kamiadalah ibu mereka pula. Maka dari itu,betapa pun rapatnya kami mampumenyimpan sebuah berita duka pastilah suatu saat bocor juga.

Tiba-tiba saya teringat cerita sekumpulan tikus yang terancam dengan seekor kucing. Para tikus pun berunding mencari jalan terbaik bagaimana cara menyelamatkan diri dari buasnya terkaman kucing. Akhirnya para tikus pun rapat. Keputusan sudah bulat.Tikus-tikusbersepakat untuk mengalungkan sebuah lonceng ke lehersang kucing. Pertanyaan yang muncul;siapakah yang bertugas mengalungkan lonceng itu ke leher si kucing, tidak ada seekor tikus pun yang berani menawarkan dirinya.

Seperti itulah kira-kira situasi kami pada saat itu.

Sembilan bersaudara telah bulat bersepakat untukmenyampaikan berita duka itu kepada ibu apaadanya.Bersimpuhlah seadanya kamimengelilingi beliau. Semuanya mengalir tanpa rencana. Karena kami terbiasa mengelilingi beliau dan bercanda, meski sejenak suasana diam dan kaku namun tidak sampai menggugah kecurigaan beliau. Karena kekakuan itu tidak ingin lebih lama, saya memberanikan diri mengajukan sebuah pertanyaan.

“Ibu, seandainya kami dipinjami sebuah kitab istimewa yang tiada duanya sedangkanpemiliknya menghendaki kitab itu, bagaimana sikap kami ibu?”

Di antara kami anak-anak beliau, semua mata saling memandangdan hati sama berdebar menanti sebuah jawab. Di antara kami sudah bisa menduga ke arah mana pembicaraan itu. Tapi tidak untuk ibu.

“Semua yangdipinjamkan suatu saat harus rela kembali kepada sang peminjam”.

Bening sekali suara beliau. Fisik  lemah akibat stroke yang menemani ibu lebih dari setahun tidak sanggup menumbangkan kejernihan kata-kata beliau y ang bijak.

“Bahkan...seandainya pun kita sanggup menggantinya dengan harta, ibu?”.

Saya mengejar beliau dengan sebuah pertanyaan susulan.

Kembali suasana hening, lebih sunyi.Sayang untuk melewatkan turunnya sebuah jawaban.

Beliau duduk dengan anggun laksanabidadari, wajahnya sangat teduh dipandang.

“Betapa pun banyaknya harta duniatidak lebih berharga daripada sebuah amanat”.

Kata-kata beliau pendek tapi meringkas semua ajaran dari guru-guru kami.

Sunyi menggantung waktu cengkerama. Sementara yang lain berhitung dengan nyali, saya membuka pembicaraan dengan ibu. Kali ini lebih serius.

“Ibu, kali ini Allah telah mengambil hak Nya atas kita. Ibu Nyai Masyrifah telah berpulang kepada sang Peminjam”.

Air mata mengucur deras.

“Aku ridha”.

Beliau mengguman pelan di tengah isak. Mungkin hanya saya saja yang mendengar karena mengamati gerak bibir beliau.

Tak berselang lama, ibu yang sama-sama kami cintai menyusul menghadap sang khalik.

Allahummaghfirlahawarhamha wa’ fu anha.

Terima kasih ibu, telah memberibuah hatimu kesempatan untuk menjadi anakmu.

Rembang, 24 Desember 2014

Mengenang 4 tahun kepergian ibunda mertua tercinta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun