Suasana ruang rapat, siang itu terasa berat. Hujan yang sejak siang mengguyur halaman sekolah seakan menambah gelap awan yang menggantung di benak setiap guru.
Di ujung meja, Pak Noor, Wakil Kepala Sekolah bidang kurikulum, memimpin rapat verifikasi nilai kelulusan dengan wajah tegang. Di hadapannya, setumpuk berkas nilai terbuka, menanti keputusan akhir.
“Kita harus segera merampungkan ini. Deadline laporan kelulusan ke dinas tinggal dua hari,” ujar Pak Noor, nadanya tegas namun terdengar lelah.
Hasil Ujian Nasional tahun ini jauh di bawah harapan. Sekolah yang biasanya bangga dengan angka kelulusannya, kini menghadapi kenyataan pahit: rerata nilai UN jeblok. Harapan satu-satunya tinggal pada rerata nilai rapor yang bisa menyokong agar para siswa tetap lolos dari lubang jarum kelulusan.
Namun, tak semua catatan di rapor bersinar. Beberapa siswa, terutama dua nama yang berkali-kali disebut dalam rapat, memiliki nilai rapor yang tidak mencukupi. Catatan kehadiran mereka bolong-bolong, tugas-tugas menumpuk tanpa pernah tersentuh, dan saat masa bimbingan ujian pun mereka tak menunjukkan batang hidung.
Pak Noor menghela napas berat. “Kita semua tahu, tingkat kelulusan ini bukan hanya angka di atas kertas. Ini juga soal nama baik sekolah. Orang tua, komite, bahkan dinas, akan memantau hasil ini. Saya minta kesepakatan bersama.”
Ketegangan memuncak ketika giliran pembahasan nilai dua siswa yang bermasalah: Farhan dan Yuni. Pak Noor menyebutkan nama mereka sambil menatap guru-guru pengampu mata pelajaran inti.
“Sesuai rekap, jika kita sedikit menyesuaikan nilai rapor mereka, setidaknya sampai batas minimal, rerata kelulusan bisa aman,” katanya, dengan nada yang mencoba meyakinkan.
Namun, suara protes segera datang dari Bu Ningsih, guru Bahasa Indonesia. Tangannya menggenggam lembar nilai rapor dengan gemetar halus.
“Maaf, Pak Noor,” ucapnya hati-hati, “Saya keberatan menaikkan nilai mereka. Sepanjang semester, Farhan nyaris tidak pernah menyetor tugas. Saat saya beri remedial, dia juga tidak hadir. Kalau saya naikkan nilainya, bagaimana dengan anak-anak lain yang sudah berjuang mati-matian?”