AI Generatif: Alat Canggih atau Ancaman bagi Penelitian Ilmiah?
Seiring dengan kemajuan pesat dalam teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), diskusi tentang dampaknya terhadap penelitian akademis menjadi semakin relevan. Dalam artikel "The Janus Effect of Generative AI: Charting the Path for Responsible Conduct of Scholarly Activities in Information Systems," Susarla et al. (2023) memberikan refleksi kritis terhadap potensi dan bahaya penggunaan AI generatif, seperti ChatGPT, dalam kegiatan ilmiah. Di satu sisi, teknologi ini membuka peluang besar untuk mempercepat proses penulisan, desain penelitian, dan analisis data. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran yang mendalam mengenai kualitas, etika, dan validitas hasil yang dihasilkan oleh AI. Menariknya, hanya dalam dua bulan setelah peluncuran beta-nya, ChatGPT telah menarik lebih dari 100 juta pengguna (Susarla et al., 2023), menunjukkan adopsi teknologi ini yang luar biasa cepat.
Artikel ini tidak hanya membahas manfaat AI generatif, tetapi juga memperingatkan tentang risiko-risiko potensial, seperti bias data dan kesalahan "halusinasi" yang dapat merusak validitas ilmiah. Sebagai contoh, studi yang dikutip dalam artikel menunjukkan bahwa manusia hanya dapat mengidentifikasi 68% dari abstrak yang dihasilkan oleh ChatGPT dengan benar, sementara 14% dari abstrak yang dihasilkan oleh manusia justru salah diidentifikasi sebagai hasil dari ChatGPT (Gao et al., 2022). Data ini mencerminkan kesulitan yang mungkin dihadapi akademisi dalam membedakan antara konten yang dihasilkan manusia dan AI. Dengan pengaruh yang sedemikian besar, apakah komunitas akademik benar-benar siap untuk mengadopsi teknologi ini secara menyeluruh?
Generative AI, seperti ChatGPT, telah membuka pintu baru bagi akademisi untuk melakukan kegiatan penelitian dengan cara yang lebih efisien. Namun, manfaat ini harus diimbangi dengan perhatian terhadap dampak negatif yang mungkin timbul. Salah satu peluang utama yang ditawarkan AI generatif adalah kemampuannya dalam membantu proses penulisan dan revisi. Susarla et al. (2023) menjelaskan bagaimana alat seperti ChatGPT dapat membantu penulis dalam menyusun teks, mengidentifikasi kesalahan gramatikal, hingga memberikan saran struktural pada draf penelitian. Misalnya, peneliti dapat memasukkan bagian dari manuskrip mereka ke dalam sistem AI dan meminta umpan balik langsung, menghemat waktu berharga yang biasanya dihabiskan untuk proses manual. Dalam dunia akademis yang serba cepat, fitur ini jelas memberikan keuntungan kompetitif, terutama dalam tahap pengembangan ide dan penyusunan literatur.
Namun, dengan keuntungan ini datang risiko serius. Sebagaimana disebutkan oleh Susarla et al. (2023), salah satu masalah terbesar adalah bias inheren dalam data pelatihan AI. Karena model generatif dilatih pada data yang tersedia di internet, yang mungkin mencerminkan bias sosial dan etnis tertentu, hasil yang dihasilkan oleh AI bisa merefleksikan pandangan dunia yang terbatas. Sebuah studi yang dilakukan oleh Birhane et al. (2022) menemukan bahwa publikasi berbasis machine learning sering kali memprioritaskan kinerja dan generalisasi daripada transparansi dan keadilan, yang dapat memperkuat bias yang ada dalam sistem. Hal ini menjadi lebih mengkhawatirkan karena model generatif cenderung memperkuat bias yang terdapat dalam data pelatihannya.
Selain itu, ada fenomena "halusinasi" yang disebutkan dalam artikel. Dalam konteks AI, halusinasi terjadi ketika AI menghasilkan konten yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam data pelatihan. Dalam studi oleh Gao et al. (2022), hasil menunjukkan bahwa manusia dapat kesulitan membedakan abstrak yang dihasilkan oleh AI dari yang ditulis manusia. Dengan ketidakmampuan ini, ada risiko serius bahwa karya ilmiah yang dihasilkan AI akan diterima tanpa verifikasi yang memadai, merusak integritas penelitian. Angka 68% identifikasi yang benar dari hasil AI dan 14% kesalahan identifikasi pada abstrak manusia oleh peneliti memberikan gambaran jelas tentang kesulitan yang akan dihadapi akademisi dalam menjaga standar penelitian.
Terakhir, Susarla et al. (2023) memperingatkan tentang potensi pelanggaran hak kekayaan intelektual ketika menggunakan AI dalam penelitian. Karena model AI besar seperti ChatGPT dilatih pada data dari sumber-sumber terbuka yang sering kali tanpa izin eksplisit, ada kekhawatiran bahwa penggunaan alat ini dalam penelitian bisa menimbulkan masalah hukum yang kompleks di masa mendatang.
Dengan potensi luar biasa yang ditawarkan oleh AI generatif, seperti ChatGPT, komunitas akademik dihadapkan pada tantangan besar untuk menyeimbangkan manfaat dan risikonya. AI dapat mempercepat berbagai aspek penelitian, mulai dari penulisan hingga analisis data, namun tidak boleh diabaikan bahwa risiko terkait bias, halusinasi, dan pelanggaran etika sangat nyata. Sebagaimana dipaparkan oleh Susarla et al. (2023), tantangan ini perlu segera diatasi dengan penerapan kebijakan yang jelas dan pengawasan manusia yang ketat di setiap tahap penelitian. Tanpa pengawasan yang memadai, ada risiko bahwa standar akademik yang sudah terjaga selama ini akan terkikis.
Dalam dunia akademik yang semakin dipengaruhi oleh teknologi, penting bagi peneliti untuk tetap kritis dan sadar akan keterbatasan alat-alat ini. AI bukanlah pengganti untuk intuisi, pengetahuan, dan kreativitas manusia. Di masa depan, keberhasilan komunitas akademik dalam mengadopsi AI generatif akan sangat bergantung pada kemampuan mereka untuk menggunakan teknologi ini dengan bertanggung jawab, mengutamakan integritas ilmiah di atas segalanya.
Referensi
Susarla, A., Gopal, R., Thatcher, J. B., & Sarker, S. (2023). The Janus effect of generative AI: Charting the path for responsible conduct of scholarly activities in information systems. Information Systems Research, 34(2), 399-408. https://doi.org/10.1287/isre.2023.ed.v34.n2
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H