19 November mahasiswa HKn Fakultas Ilmu Sosial UM melakukan wawancara dan bincang santai dengan founder JKJT yaitu Agustinus Tedja yang akrab dipanggil ayah Tedja. Kami mewawancara beliau tepatnya di kesekretariatan Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur di jl. Blitar, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Kedatangan kami bertujuan untuk mengulik alasan berdirinya JKJT, karena kami anggap komunitas tersebut merupakan wujud nyata dari Implementasi Pancasila.
JKJT merupakan komunitas kemanusiaan yang berdiri sejak tahun 1993, bergerak di berbagai bidang kemanusiaan yaitu bidang pendidikan (Rumah Belajar), bidang sosial  (mitigasi bencana, nikah massal, dan bantuan terhadap dokumen kependudukan bagi mereka yang tidak punya identitas).
Komunitas ini merupakan bentuk kepedulian terhadap anak-anak yang terlantar dan kategori ekonomi menengah ke bawah. Komunitas ini murni dari rasa kepedulian terhadap kaum marginal dan tidak terafiliasi dengan partai politik tertentu. Disebutkan bahwa ada salah satu partai politik yang ingin memberikan bantuan, ayah Tedja dengan tegas menolak "Saya tahu maksud anda ke JKJT untuk memperoleh suara, simpati masyarakat dll, bukan murni peduli terhadap kaum marginal" sebutnya dalam wawancara kami.
Fokus utama penelitian ini adalah terkait kontribusi komunitas terhadap pendidikan berkualitas yagn berbasis kerakyatan. Artinya rumah belajar yang dinaungi komunitas ini merupakan wadah pengembangan diri bagi mereka yang tidak memiliki biaya tambahan untuk mendapat pendidikan di luar sekolah (les, bimbel, dll).
Pada tanggal 8 Desember 2024 mahasiswa HKn Fakultas Ilmu Sosial UM melakukan observasi dan wawancara kepada pengurus Rumah Belajar Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur. Rumah belajar didirikan pada tahun 2013. Di kota Malang sendiri ada dua titik sebagai tempat dilakukannya kegiatan dari rumah belajar, yaitu Muharto dan Jagalan. Kegiatan di Muharto dilakukan setiap Minggu pada jam 09.00 WIB., sedangkan di Jagalan pada hari Minggu di jam 15.00 WIB. Lokasi tersebut dipilih karena masih banyaknya penduduk yang notabenenya kalangan menengah ke bawah.
Rumah belajar menjadi sekolah ke-dua bagi mereka kaum marginal. Fokus utamanya adalah menunjang pembelajaran di sekolah. Kegiatan yang biasa dilakukan adalah mengerjakan PR bersama, games edukasi, studi tour, dan pembelajaran tambahan mengenai materi-materi di sekolah. Tah hanya hard skill yang dilatih tetapi juga soft skill yaitu berupa pelaithan, menjahi dan memasak. Hanya saja  pelatihan ini tidak dilakukan setiap Minggu mengingat sumber daya dan sumber manusianya terbatas.
Rumah belajar merupakan solusi alternatif di tengah kesenjangan pendidikan dan ekonomi. Mereka tangan-tangan penggerak yang tak kelihatan, namun sangat dibutuhkan untuk mencapai SDGs yaitu pendidikan berkualitas dalam menyongsong indonesia emas tahun 2045.Â
Harapannya dengan tulisan ini kita dapat lebih peduli terhadap mereka yang termarginalkan, lebih peka terhadap kebutuhan sosial lingkungan kita. Dengan kepekaan itu maka kita sudah memiliki modal untuk berkontribusi di bidang apa, apa yang akan kita lakukan, solusi apa yang kita tawarkan. Dan pada akhirnya kita benar-benar menjadi pahlawan bagi mereka yang membutuhkan bantuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H