Radikalisme bukanlah fenomena baru. Di dunia yang terus berkembang ini, ia hadir dengan wajah yang lebih kompleks dan penuh lapisan, melibatkan isu agama, politik, dan sosial. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Syekh Usamah Said Al Azhari dalam Al-Haqqul Mubin, radikalisme seringkali lebih bersifat politis daripada religius. Ini adalah upaya dari kelompok atau individu untuk mencapai tujuan politik melalui cara-cara agresif dengan memanfaatkan agama sebagai alat legitimasi. Agama, dalam banyak kasus, hanya menjadi selubung moral yang membungkus kepentingan duniawi.
Namun, radikalisme tidak hanya ditemukan dalam satu agama atau komunitas tertentu. Radikalisme, ekstremisme, dan terorisme telah mengakar dalam berbagai tradisi keagamaan di seluruh dunia. Dalam analisis yang lebih mendalam, kita perlu menyoroti bagaimana radikalisme muncul, apa tujuannya, dan bagaimana cara kita memahami fenomena ini agar dapat melawannya secara efektif.
Akar Radikalisme: Politisasi Agama
Radikalisme sering kali muncul dari keresahan sosial dan politik yang meluas. Di tengah kondisi ketidakadilan, ketidaksetaraan, atau tekanan politik, banyak kelompok radikal menemukan momentum untuk merekrut pengikut. Mereka memanfaatkan kondisi ini dengan menawarkan "solusi cepat" melalui ideologi yang berfokus pada perubahan radikal, sering kali dengan menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Usamah Said Al Azhari, radikalisme tidak hanya hadir dalam bentuk interpretasi ekstrem agama, tetapi juga terfokus pada pencapaian tujuan politik yang belum waktunya. Dalam hal ini, agama tidak lebih dari alat yang digunakan untuk memberikan legitimasi kepada tindakan mereka.
Di Indonesia, gerakan radikal yang tergabung dalam berbagai organisasi teror, seperti Jamaah Islamiyah atau ISIS, misalnya, tidak sekadar berfokus pada ajaran Islam tetapi lebih pada ambisi untuk menguasai negara secara politik. Mereka ingin mendirikan negara agama di mana hukum mereka akan memaksa semua orang untuk tunduk pada interpretasi tunggal.
Namun, ini bukanlah fenomena unik bagi Islam. Di banyak negara lain, radikalisme muncul dalam agama mayoritas setempat. Di India, misalnya, gerakan Hindu radikal seperti Hindutva menggunakan agama Hindu sebagai justifikasi untuk melakukan diskriminasi terhadap minoritas Muslim. Demikian pula, di Myanmar, kelompok Buddha ekstremis, yang dipimpin oleh tokoh seperti Ashin Wirathu, menggunakan agama Buddha untuk melakukan kekerasan terhadap Muslim Rohingya.
Dalam konteks global, di Amerika Latin dan Irlandia Utara, radikalisme Kristen, baik dari Katolik maupun Protestan, telah menciptakan kekerasan yang memakan korban jiwa. Semua ini menunjukkan bahwa radikalisme tidak memiliki agama tertentu, melainkan memanfaatkan agama sebagai kendaraan untuk mencapai kekuasaan politik.
Politisasi Simbol Agama dan Rekayasa Identitas
Mengapa agama menjadi alat yang begitu kuat bagi kelompok radikal? Jawabannya terletak pada sifat agama itu sendiri, yang menawarkan keyakinan moral absolut dan narasi akhirat yang menjanjikan. Agama mengajarkan tentang kemartiran, pengorbanan, dan keyakinan mesianik bahwa pada akhir zaman, agama yang benar akan menang. Kelompok radikal memanipulasi keyakinan ini untuk mempengaruhi pengikut mereka. Dengan mengidentifikasi perjuangan mereka sebagai bagian dari "pertempuran ilahi," mereka melegitimasi kekerasan dan menarik simpati dari masyarakat yang merasa bahwa agama mereka terancam.
Contohnya adalah kelompok-kelompok radikal yang menggunakan nama-nama seperti "Islamic State" atau "Jamaah Anshori Syariah" untuk menciptakan kesan bahwa perjuangan mereka adalah perjuangan Islam, padahal sebenarnya mereka adalah kelompok politik dengan kepentingan duniawi. Begitu pula di negara-negara mayoritas Kristen, kelompok supremasi kulit putih di Amerika Serikat atau organisasi evangelis garis keras, yang menggunakan retorika agama untuk mendukung kebijakan rasis atau otoriter. Mereka memanipulasi narasi agama untuk menginspirasi ketakutan dan kebencian terhadap minoritas.