Bayangkan seorang anak kelas 4 SD di Jakarta. Sambil duduk di sofa, ia menghabiskan waktu berjam-jam men-scroll video TikTok, dari tarian viral hingga prank konyol. Di sudut ruang tamu, buku cerita rakyat yang dibelikan ibunya bertumpuk berdebu, tidak tersentuh sejak dibeli. Di sisi lain, di pedalaman Nusa Tenggara Timur, seorang siswa hanya bisa mendengar cerita rakyat dari gurunya, karena listrik dan internet terlalu mahal untuk diandalkan. Kedua skenario ini, meskipun berbeda, adalah cerminan jelas dari bagaimana dunia digital mengubah cara anak-anak kita mengenal budaya lokal.
Fenomena ini bukan sekadar perubahan kecil, tapi sebuah revolusi budaya. Dalam era digital ini, cerita rakyat---yang dulu menjadi sumber hiburan sekaligus pendidikan moral---harus bersaing dengan konten digital cepat saji seperti TikTok, YouTube, dan game online. Jadi, pertanyaannya: mengapa cerita rakyat kalah bersaing, dan apa yang bisa kita lakukan?
Statistik Digital: Cerita Rakyat yang Kian Tersingkirkan
Riset menunjukkan angka yang cukup mengkhawatirkan. Sebanyak 78% siswa menghabiskan rata-rata 4,5 jam sehari di platform digital, sementara hanya 23% yang masih membaca buku cerita rakyat secara rutin. Tak hanya itu, preferensi mereka juga condong ke konten yang pendek, ringan, dan mudah dicerna. Sebagian besar siswa lebih memilih video TikTok berdurasi 30 detik dibanding membaca cerita rakyat berdurasi 10 menit.
Namun, di daerah dengan keterbatasan akses internet, situasinya berbeda. Banyak sekolah di daerah 3T masih mengandalkan cerita rakyat dalam format fisik atau lisan karena internet tidak selalu tersedia. Tetapi, tanpa daya tarik visual dan interaktivitas digital, cerita rakyat ini sulit bersaing ketika anak-anak mulai terpapar gempuran teknologi.
TikTok vs. Cerita Rakyat: Pertarungan yang Tidak Seimbang
Salah satu alasan utama mengapa cerita rakyat semakin kalah populer adalah format penyajiannya. Cerita rakyat sering disampaikan dalam format konvensional---teks panjang atau dongeng lisan yang memerlukan konsentrasi tinggi. Sebaliknya, platform seperti TikTok menawarkan video singkat, penuh warna, dan langsung menarik perhatian. Durasi perhatian anak-anak modern kini sangat singkat.
Pendekatan inovatif yang dilakukan oleh sekolah seperti SDN 01 Serpong melalui pengemasan cerita rakyat dalam episode pendek Instagram Stories adalah contoh nyata adaptasi digital yang berhasil. Hasil inovasi ini menunjukkan peningkatan keterlibatan siswa secara signifikan. Elemen visual yang sederhana membuat cerita rakyat lebih hidup dan relevan di era modern.
Selain itu, cerita rakyat Bugis-Makassar yang diajarkan di SD telah terbukti mampu membangun nilai-nilai karakter seperti tanggung jawab, kerja sama, dan toleransi. Hal ini sejalan dengan penggunaan cerita rakyat sebagai alat pendidikan karakter berbasis budaya lokal, di mana pendekatan berbasis nilai kebangsaan membantu mengintegrasikan budaya lokal ke dalam pembelajaran modern.
Lebih jauh lagi, integrasi cerita rakyat dengan teknologi seperti yang dilakukan oleh SDN 03 Menteng melalui podcast berbasis audio mencerminkan potensi besar pendekatan berbasis media baru. Cerita rakyat dapat menjadi jembatan pembelajaran multikultural, membantu siswa memahami nilai-nilai sosial dan budaya yang penting untuk interaksi lintas budaya.
Adaptasi Digital yang Sukses: Pelajaran dari Sekolah dan Komunitas Lokal