Perkembangan teknologi semakin berkembang pesat dengan munculnya media sosial yang berfungsi untuk berinteraksi dengan  masyarakat. Seperti misalnya penggunaan media sosial berupa Facebook, Instagram, Twitter, dan lain-lain. Dalam hal ini perkembangan teknologi mengakibatkan terjadinya pembukaan terhadap batas-batas khayal yang semakin meluas sehingga mengakibatkan sempitnya wilayah teknologi pada saat itu. Sehingga hal inilah yang memicu Mc Luhan untuk menggunakan istilah global village[1]  sebagai gambaran dari dampak yang ditimbulkan akibat adanya penyebaran teknologi seperti radio,televisi, telegram yang menggantikan media cetak. (  Luhan, 1994, Hodkinson, 2011).[2]Â
 Oleh karena itu dalam suatu bagian teknologi terdapat berberapa ikatan yang berada dalam suatu media baik itu berupa komunikasi langsung maupun komunikasi tidak langsung, sehingga menimbulkan informasi tersebut tersebar secara cepat dan mampu untuk diterima oleh masyarakat karena bahasa informasi yang mudah dipahami.[3]  Howard Reignold dalam Bell(2004) menjelaskan bahwa  terbentuknya media sosial telah menciptakan komunitas virtual yang berasal dari latar belakang yang berbeda-beda serta mereka saling tukar-menukar informasi.[4] Terbentuknya komunitas virtual saat ini terjadi akibat adanya keinginan untuk menciptakan sesuatu hal yang baru serta media untuk memberikan informasi yang disukai seperti misalnya seperti grup media sosial pecinta hewan, pecinta barang antik, dan lain-lain.[5] Umumnya hubungan tersebut terbentuk karena adanya kepentingan diantara para pengguna Facebook sehingga mereka berusaha untuk membuat tampilan grup seunik mungkin untuk menarik masyarakat untuk bergabung ke dalam grup tersebut.Â
 Tak terkecuali dengan grup mengenai budaya kejepangan di Facebook dimana banyak sekali menyimpan berbagai hal unik mengenai seluk-beluk mengenai budaya kejepangan serta ajang untuk promosi barang-barang yang berkaitan dengan budaya tersebut. Hingga dalam suatu grup tersebut memberitahukan mengenai berberapa program acara-acara yang berkaitan dengan budaya kejepangan seperti Anime[6] dan Tokusatsu[7]. Tentu saja selain itu terdapat berberapa diskusi yang melibatkan antara sesama peminat Anime maupun Tokusatsu yang tentu saja menimbulkan adanya pertentangan di antara pengguna Facebook. Contohnya ialah ketika mereka membagi informasi mengenai info Anime maupun Tokusatsu, mereka sering berdebat mengenai kapan penayangan film tersebut serta jalan cerita yang dirasa kurang memuaskan sehingga memicu adanya lontaran hinaan terhadap seri televisi tersebut sehingga dalam perkembangan teknologi yang semakin berkembang pesat. Televisi merupakan sebuah media untuk menjaring massa dalam suatu masyarakat dan sebagai bentuk penyebaran budaya populer saat ini. ( Fiske 1989).[8]Â
 Anime menjadi tren budaya poppuler di Indonesia hingga saat ini, hal ini bisa kita lihat pada merebaknya konsumsi barang-barang yang berkaitan dengan budaya Jepang seperti misalnya manga, [9]anime, figure[10], kaset, dan lain-lain. Meningkatnya konsumerisme ini diikuti oleh meningkatnya kebutuhan akan benda materil yang berguna sebagai peningkat status sosial, pembangun moril masyarakat, serta merupakan bagian dari gaya hidup.[11] (Basunanda 2020; Hall 1976) Storey (2002) mengatakan bahwa budaya populer terdiri dari High Culture dan Low Culture.[12] High culture merupakan sebuah bentuk budaya yang merupakan bagaian dari nilai seni dan mementingkan estetika dari budaya itu sendiri. Misalnya seperti opera, teater, seni tari, dan lain-lain. Sedangkan Low culture  merupakan budaya yang dinikmati oleh kalangan kelas menengah ke bawah seperti misalnya gossip, reality show, majalah, dan lain-lain.( Storey 2002) Semua itu merupakan bagian dari bentuk budaya yang berada dalam masyarakat saat ini.Â
 Kemudian dalam perkembangannya Anime dan Tokusatsu merupakan sebuah budaya populer yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia. Merebaknya budaya populer tidak lain karena adanya peran asianisasi budaya ditengah maraknya westernisasi di Indonesia yang ditandai dengan munculnya film-film Hollywood, Disney, Telenovella, superhero DC dan lain-lain. (Basunanda 2020)[13] Asianisasi budaya di Indonesia terjadi ketika  produk-produk budaya Asia mulai populer di tahun 80-90 an dimana pada saat itu berbagai barang seperti mobil, peralatan elektronik, boneka, dan lain-lain mulai menjamur di pasaran sehingga dalam suatu peristiwa penjualan mainan maupun barang-barang lainnya sangat laris dikarenakan adanya media berupa televisi yang menayangkan berberapa animasi Jepang dengan mempromosikan berbagai mainan yang tentu menarik minat bagi orang yang menonton. Seperti misalnya pada sebuah acara televisi yang menayangkan Anime dan Tokusatsu seperti Yugi-Oh, Pokemon, Beyblade, Lets&Go, Ultraman Tiga, Ultraman Dyna, Power Rangers, dan lain-lain. Mereka umumnya mengiklankan barang-barang yang berkaitan dengan anak-anak dan remaja karena target audiensi penonton sebagian besar  berasal dari kalangan anak-anak maupun remaja yang tertarik untuk menonton serial tersebut. Fiske menyebutkan bahwa audiensi berperan penting dalam menaikkan penjualan barang-barang yang berkaitan dengan material serta dapat mempengaruhi tingkah laku pada sebagian penonton televisi.[14] ( Fiske 1987)Â
 Dari televisi itulah munculah berbagai komunitas yang berusaha untuk menyalurkan hobinya dalam masyarakat. Mereka mengadakan berbagai acara seperti festival, kumpul bersama dengan para fans dari suatu seri televisi maupun ajang untuk memperindah diri melalui kegiatan cosplay yang diadakan oleh universitas, perusahaan maupun pihak-pihak lain yang mengadakan  berbagai acara kejepangan lainnya. Hal tersebut merupakan bagian dari Cool Japan  yang merupakan program pemerintah  Jepang yang bertujuan untuk memperkenalkan produk Jepang yang berupa teknologi, makanan, animasi, dan lain-laindan menunjukkan pada dunia bahwa kebudayaan Jepang itu keren dan mengasikkan. Namun seiring dengan  peristiwa Lost Decade yang menyebabkan perekonomian Jepang mengalami stagnan sehingga dalam perkembangannya budaya Jepang terbatas pada Anime dan Manga dan budaya Jepang yang memiliki akses yang sangat terbatas.
Magister Kajian Sastra dan Budaya FIB Unair
21-12-2022
Â
Sumber:
John Fiske, Reading The Popular (London: Routledge, 1989)