Terjadinya demokratisasi pasca runtuhnya rezim orde baru menjadi sebuah langkah awal bagi proses reformasi dalam banyak sektor pemerintahan di Indonesia, termasuk dalam hal tata kelola pemerintahan.
Pola pemerintahan yang sangat sentralistik ketika periode kekuasaan rezim orde baru membuat lahirnya berbagai macam bentuk tindak penyelewengan kekuasaan.
Setelah rezim orde baru runtuh terjadi transisi dari pemerintahan yang sentralistik (serba pusat) menjadi desentralistik. Proses transformasi ini kemudian dikemas ke dalam bentuk UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah.
Tujuan dari adanya desentralisasi ini pada awalnya tidak lain adalah untuk melepas ketergantungan daerah terhadap pusat guna menciptakan efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pelayanan publik kepada masyarakat.
Dengan adanya desentralisasi ini diharapkan kolaborasi langsung antara pemerintah daerah dan masyarakat dapat membantu menjawab segala bentuk permasalahan yang ada pada tingkat daerah.
Termasuk dalam peningkatan stabilitas ekonomi serta pengelolaan sumber daya alam masing-masing daerah. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, praktik desentralisasi yang diwujudkan melalui otonomisasi ini malah memunculkan masalah-masalah baru seperti muculnya rivalitas antar elit daerah serta melahirkan dinasti politik pada tingkat lokal.
Fenomena dinasti politik menjadi sebuah permasalahan yang masih mengakar dalam praktik desentralisasi. Pasalnya desentralisasi yang bermakna pelimpahan sebagian kekuasaan kepada pemerintah daerah membuat elit di daerah memiliki kontrol penuh atas pelaksanaan pemerintahan sehingga memberikan sebuah celah bagi segelintir elit lokal untuk menciptakan sebuah hegemoni demi mempertahankan serta memperluas kekuasaan mereka.
Segelintir elit ini nantinya akan menciptakan sebuah jejaring dengan menempatkan keluarga serta kerabat mereka di dalam berbagai jabatan strategis guna dapat memaksimalkan pengakomodasian kepentingan mereka. Hal inilah yang menjadi cikal bakal terciptanya dinasti politik.
Dinasti politik dalam artian secara tradisional dapat dijelaskan sebagai upaya yang dilakukan oleh penguasa dengan meletakkan jejaring kerabat dan keluarganya pada sebuah posisi strategis dengan tujuan untuk membangun sebuah “kerajaan politik” dalam pemerintahan baik pada tingkat lokal maupun nasional (Agustino, 2010). Jadi dinasti politik dapat diidentifikasi dengan melihat persebaran jaringan kekuasaan pada posisi strategis yang diisi oleh kerabat dan keluarga dalam lembaga negara maupun partai politik (Fatkhuri,2010).
Munculnya apa yang disebut dinasti politik pada tingkat lokal ini salah satunya adalah lewat pemilihan kepala daerah. Seperti yang kita ketahui pemilihan kepala daerah secara langsung oleh rakyat merupakan produk dari desentralisasi. Kontestasi pemilihan kepala daerah inilah yang dimanfaatkan oleh segelintir elite guna memperluas jaringan kekuasaan mereka.
Fenomena terbentuknya dinasti politik pada tingkat lokal ini bisa dibilang kian subur. Pada pemilihan kepala daerah tahun 2020 setidaknya terdapat sebanyak 57 calon kepala daerah yang termasuk ke dalam lingkaran dinasti politik. Hal ini secara langsung membuktikan bahwa hubungan yang ada dalam jaringan dinasti politik tersebut dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong posisi elektoral mereka.