Pemekaran Solo Raya juga sebaiknya tidak hanya menjawab aspirasi elite lokal, melainkan betul-betul berbasis kebutuhan masyarakat. Survei opini publik, dialog warga lintas kabupaten, serta kajian akademik multidisipliner menjadi prasyarat mutlak. Tanpa itu, legitimasi DOB akan rapuh di tengah jalan. Kita belajar dari pengalaman. Banyak DOB yang lahir tanpa desain besar pembangunan wilayah akhirnya gagal menghadirkan kesejahteraan. Jangan sampai Solo Raya hanya menjadi tambahan statistik administratif dalam daftar panjang pemekaran yang tidak berhasil.
Sebaliknya, jika perencanaan dilakukan serius dengan grand design wilayah, peta jalan pembangunan, dan strategi tata kelola, maka Solo Raya bisa menjadi prototipe provinsi budaya yang modern. Perpaduan antara warisan sejarah dan efisiensi birokrasi inilah yang harus menjadi ciri khasnya.
Kini saatnya pemerintah bersikap arif. Penetapan DOB, apalagi dengan status istimewa, tidak bisa hanya berdasarkan pertimbangan politis atau tekanan daerah. Ia harus lahir dari dialektika antara kebutuhan pembangunan, aspirasi warga, dan kapasitas kelembagaan. Karena pada akhirnya, otonomi sejati bukanlah pemekaran wilayah semata. Ia adalah pembebasan dari ketertinggalan, dari birokrasi yang lamban, dan dari kebijakan yang tak menyentuh akar kebutuhan rakyat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI