Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Researcher / Analis Kebijakan Publik

Berbagi wawasan di ruang akademik dan publik demi dunia yang lebih damai dan santai. #PeaceStudies #ConflictResolution

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haul di Bulan Ramadan

22 Maret 2025   06:40 Diperbarui: 22 Maret 2025   06:40 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi haul malam Ramadan (Sumber: detik.com)

Malam itu, langit Ramadan bergelayut sunyi. Cahaya bulan separuh temaram di antara bintang-bintang yang gemerlap. Aroma masakan ibu menyeruak dari dapur rumah kami di Jepara. Seperti setiap tahun, 18 Ramadan menjadi hari penuh renungan bagi keluarga kami, mengenang kepergian ayah yang meninggalkan kami tepat di jelang berbuka puasa, 19 tahun silam.

Ayah pergi dalam insiden tragis. Seorang polisi yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi menabraknya. Kami tak pernah menyangka, malam Nuzulul Qur'an yang seharusnya menjadi malam berkah, justru menjadi saksi kepergian ayah untuk selamanya. Saat itu, kami tujuh bersaudara masih kecil, belum memahami benar apa arti kehilangan yang sesungguhnya.

Ibu yang saat itu baru berusia 53 tahun harus menelan pil pahit. Deraian air mata belum kering di pipinya, tetapi ia sudah dihadapkan pada kenyataan pahit, membesarkan tujuh anak seorang diri. Kesedihan semakin lengkap saat kesehatannya mulai menurun. Diabetes dan jantung menyerangnya perlahan, memaksanya mondar-mandir ke rumah sakit di Kudus dan Jepara.

Kami menyaksikan sendiri betapa ibu berjuang. Tak jarang ia berangkat ke rumah sakit dengan tertatih, tetapi tetap membawa senyum untuk kami di rumah. Ramadan demi Ramadan ia jalani dengan tekad baja, memastikan kami bisa berbuka dengan layak meski terkadang hanya dengan nasi dan sayur sederhana. Kesulitan tak menjadikannya lemah. Justru dari sanalah ia menempa diri, menjadi ibu sekaligus ayah bagi kami.

Ramadan bukan sekadar tentang kehilangan, tetapi tentang menemukan kembali makna keluarga dalam doa, cinta, dan kebersamaan yang tak lekang oleh waktu. Seorang ibu adalah cahaya yang tetap menyala, bahkan ketika gelap kehilangan menyelimuti. Dari tangannya, lahir ketabahan yang tak pernah padam.

Setiap tahun, saat adzan Maghrib berkumandang, ibu selalu memandangi jam dinding. Waktu berbuka baginya bukan hanya sekadar membatalkan puasa, tapi juga mengenang detik-detik terakhir kepergian ayah. Tak jarang, matanya menerawang jauh, seolah masih melihat bayangan ayah tersenyum padanya.

Waktu berlalu. Kami tumbuh dewasa, satu per satu mulai meniti karir. Ibu yang dulu penuh keprihatinan kini bisa menikmati hasil jerih payahnya. Anak-anaknya kini mapan, tinggal di berbagai kota dengan pekerjaan yang baik. Tapi kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tahun ini, Ramadan kembali menguji ibu. Kakak tertua kami, yang selama ini menjadi tulang punggung keluarga, meninggal karena kanker rahim.

Duka menyergap kami seperti luka lama yang kembali menganga. Kali ini, ibu tak lagi setegar dulu. Rambutnya yang memutih seakan semakin lusuh dalam kabut duka. Di usianya yang ke-72 tahun, ia harus kembali menelan kehilangan yang begitu menyakitkan. Kami hanya bisa menggenggam tangannya erat, mencoba menyalurkan kekuatan sebagaimana dulu ia memberikannya pada kami.

Malam haul ayah tahun ini berbeda. Meja makan tetap penuh hidangan, tapi kursi di sebelah ibu kosong. Biasanya, kakak tertua kami duduk di sana, membantu ibu menyiapkan hidangan berbuka. Kini, keheningan lebih terasa dibanding tahun-tahun sebelumnya. 

Namun, Ramadan tetaplah Ramadan. Momen berbagi duka dan suka, serta refleksi mendalam akan kehilangan dan kebersamaan.
Setelah sholat Tarawih, ibu duduk di teras rumah. Angin malam membawa aroma laut dari kejauhan. Ia menatap langit, lalu berbisik lirih, "Ayah, putri sulung kita kini bersamamu. Jaga dia baik-baik."

Kami saling berpandangan, mata kami berkaca-kaca. Tak ada yang sanggup berkata-kata. Kami tahu, luka ibu terlalu dalam untuk diungkapkan. Tapi di balik kepedihan itu, ada keteguhan yang tetap ia pelihara. Ia tetaplah ibu kami, perempuan yang selama ini menjadi sandaran dan teladan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun