Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Human Resources - Researcher / Paradigma Institute

Membaca dunia adalah membuka cakrawala pengetahuan, dan melalui hobi menulis, kita menorehkan jejak pemikiran agar dunia pun membaca kita.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Mangir, Kebangkitan Perlawanan Desa dan Keruntuhan Pusat Kekuasaan

2 Februari 2025   08:02 Diperbarui: 2 Februari 2025   10:38 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel Drama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer (Sumber: resensibukupilihan.com)

Pramoedya Ananta Toer, seorang maestro sastra Indonesia, dalam novel Mangir menghadirkan sebuah drama sejarah yang sarat dengan simbol perlawanan dan perebutan kekuasaan. Novel ini mengangkat kisah tragis antara Ki Ageng Mangir dan Putri Pambayun, yang menggambarkan perlawanan sebuah desa terhadap dominasi kekuasaan besar.

Mangir, sebuah wilayah kecil yang menjadi pusat perlawanan terhadap Kesultanan Mataram yang baru tumbuh, merupakan cerminan dari kondisi politik pasca-keruntuhan Majapahit pada 1527. Saat itu, kekuasaan tidak lagi terpusat pada satu kerajaan besar, tetapi tersebar dalam bentuk kerajaan-kerajaan kecil yang terus bersaing. Perpecahan ini menjadikan masyarakat lebih fokus pada perebutan kekuasaan ketimbang pada perkembangan sastra, arsitektur, dan keilmuan lainnya.

Dalam novel Mangir, Pramoedya menyoroti bagaimana Ki Ageng Mangir, sebagai simbol kekuatan desa, mampu menggoncang stabilitas Mataram. Namun, kekuasaan dominan tidak tinggal diam. Segala daya dan upaya dilakukan untuk menaklukkan Mangir, termasuk dengan cara yang paling halus sekaligus paling kejam, yaitu melalui cinta dan pengkhianatan. Putri Pambayun, yang dikirim oleh Panembahan Senopati untuk merayu Ki Ageng Mangir, menjadi alat politik yang mengantarkan perlawanan desa kepada kehancuran. Dalam puncaknya, Ki Ageng Mangir akhirnya terbunuh saat tunduk hormat kepada mertuanya sendiri, Panembahan Senopati, yang sekaligus menjadi algojonya.

Kisah Mangir memberi kita refleksi mendalam tentang bagaimana sebuah kekuatan desa dapat menggoyahkan kekuasaan dominan, tetapi juga bagaimana kekuasaan akan menggunakan segala cara untuk mempertahankan diri. Sejarah mencatat bahwa desa, yang seharusnya menjadi pusat kehidupan dan kebudayaan, sering kali terseret dalam arus politik dan perebutan kekuasaan, sehingga nilai-nilai intelektual dan kebudayaan justru terpinggirkan.

Sanepa (kiasan) yang terdapat dalam kisah Mangir juga merefleksikan kerasnya feodalisme Jawa yang dikritisi oleh para pujangga keraton. Para pujangga Jawa menggunakan simbolisme dan kiasan untuk mengungkap realitas pahit bahwa kekuasaan sering kali hanya berpihak pada kepentingan segelintir elit, sementara kaum desa diperlakukan sebagai alat yang dapat dikorbankan demi stabilitas kerajaan. Sanepa-sanepa ini tidak hanya menyampaikan kritik sosial, tetapi juga menunjukkan proses bangkitnya kaum desa sebagai kekuatan yang dapat menggoyahkan sistem feodal yang menindas.

Lebih jauh lagi, sanepa yang dilahirkan oleh para pujangga Jawa memiliki korelasi dengan upaya menjauhkan aspek mistisisme, fetis, dan imajinasi yang sebelumnya mendominasi narasi kekuasaan. Mereka mengarahkan pemikiran masyarakat menuju perubahan sistem pemerintahan yang lebih menjunjung kesetaraan, menggantikan mitos-mitos lama dengan realitas politik yang lebih rasional. Kritik terhadap feodalisme dalam Mangir bukan hanya sekadar kisah masa lalu, tetapi juga menggambarkan bagaimana perubahan sosial dan politik terus berulang dalam sejarah.

Dalam konteks hari ini, kisah Mangir tetap relevan. Kita menyaksikan bagaimana politik masih menjadi panglima, sementara sastra, arsitektur, dan ilmu pengetahuan sering kali menjadi korban dalam perebutan pengaruh dan kuasa. Pramoedya mengingatkan kita bahwa sejarah adalah cermin bagi masa kini. Tanpa kesadaran akan pentingnya menjaga kebudayaan dan intelektualitas, kita bisa saja mengulang kesalahan yang sama: menjadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir, sementara seni dan ilmu hanya menjadi pelengkap belaka.

Mangir bukan hanya sekadar kisah tragis, tetapi juga sebuah peringatan. Desa, dalam maknanya yang luas, memiliki potensi besar untuk menantang kekuasaan yang dominan, tetapi juga rentan terhadap manipulasi politik. Novel ini adalah sebuah renungan bagi kita semua tentang bagaimana kekuasaan bekerja, bagaimana perlawanan tumbuh, dan bagaimana kebudayaan sering kali terpinggirkan dalam arus sejarah yang tak henti berulang.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun