Sunan Kuning, sebuah nama yang lekat dalam ingatan masyarakat Semarang, seringkali dikaitkan dengan lokalisasi prostitusi Argorejo yang lebih dikenal dengan nama "Sunan Kuning" (SK). Stigma yang menempel ini menggeser makna historis dari tokoh Sunan Kuning yang sejatinya memiliki peran penting dalam sejarah perlawanan terhadap kolonialisme. Makamnya yang berada di bukit kecil di Kali Banteng, dekat kawasan Kembangarum, menjadi saksi bisu dari perjalanan seorang pemimpin yang terpinggirkan dalam narasi arus utama sejarah Indonesia.
Sunan Kuning atau Soen An Ing (Sun Kun Ing) memiliki nama asli Raden Mas Garendi. Ia adalah cucu dari Amangkurat III yang memimpin perlawanan terhadap VOC dalam Geger Pecinan 1740-1743. Bersama Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa, ia memimpin pasukan gabungan Jawa dan komunitas Muslim Tionghoa untuk menentang dominasi kolonial Belanda dan penguasa Mataram yang dianggap berpihak pada VOC.
Sebutan Sunan Kuning berasal dari pasukannya yang mayoritas berkulit kuning, sehingga dalam pelafalan Mandarin disebut "cun ling" yang berarti bangsawan agung, dan kemudian dalam pengucapan Jawa menjadi Sunan Kuning. Ia dinobatkan sebagai Sunan Amangkurat V Senopati Ing Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo pada 6 April 1742 di Pati. Namun, dalam berbagai versi sejarah, terdapat perbedaan pandangan mengenai nasibnya. Ada yang menyatakan bahwa ia tertangkap dan dibuang oleh VOC ke luar negeri hingga meninggal, sementara lainnya meyakini ia wafat dan dimakamkan di Semarang, yang sekarang berada di seberang kompleks Pusdik Penerbang Angkatan Darat (Penerbad) di Jalan Siliwangi.
Momentum Imlek, Mengenang Warisan Antikolonialisme
Salah satu peristiwa penting dalam kepemimpinan Sunan Kuning adalah serangan terhadap VOC di Semarang dan di Welahan Jepara, pada 1742. Bersama 1.200 pasukan Muslim Tionghoa dan Jawa, ia melawan VOC yang saat itu dipimpin oleh Kapten Gerrit Mom. Perlawanan ini terjadi di tengah ketidakpuasan terhadap Pakubuwono II yang dianggap bersekongkol dengan VOC, terutama dengan Kapten Van Hohendorf. Konflik ini menjadi bagian dari dinamika besar perlawanan Nusantara terhadap kolonialisme.
Solidaritas antara Muslim Tionghoa dan masyarakat Jawa dalam Geger Pecinan menunjukkan bahwa perbedaan etnis dan budaya tidak menghalangi semangat perjuangan melawan ketidakadilan. Persekutuan ini merupakan simbol dari persatuan dalam melawan penjajahan, yang seyogianya menjadi inspirasi bagi bangsa Indonesia saat ini dalam merawat persatuan dan melawan diskriminasi.
Dalam konteks perayaan Imlek, sudah seharusnya momentum ini menjadi pengingat bahwa di masa lalu, komunitas Muslim Tionghoa dan masyarakat Jawa pernah bersatu dalam perjuangan politik melawan kolonialisme. Sayangnya, ingatan kolektif mengenai Sunan Kuning justru tertutup oleh stigma negatif akibat keberadaan lokalisasi yang mengambil namanya.
Saatnya Semarang dan Indonesia secara umum mengembalikan marwah Sunan Kuning sebagai tokoh sejarah yang dihormati. Pemugaran makamnya, pengenalan sejarahnya kepada generasi muda, serta pelurusan narasi sejarah adalah langkah-langkah penting untuk menghormati warisan leluhur yang pernah memperjuangkan keadilan dan kemerdekaan.
Soliditas Jawa dan Muslim Tionghoa yang dulu terjalin harus tetap dijaga dalam menghadapi tantangan zaman. Warisan ini bukan sekadar kisah masa lalu, tetapi merupakan cerminan dari semangat inklusivitas dan kebersamaan yang menjadi kunci harmoni di tengah keberagaman Indonesia. Sejarah bukan sekadar catatan masa lalu, tetapi cermin bagi masa depan. Sunan Kuning mengajarkan bahwa keberanian dan solidaritas lintas budaya mampu menumbangkan ketidakadilan. Saatnya kita meluruskan sejarah, merawat warisan kebersamaan, dan menjadikannya inspirasi untuk Indonesia yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI