Ketika aroma manis dan legit dari kue keranjang atau Nian Gao mulai menyeruak di berbagai rumah menjelang Tahun Baru Imlek, kita tidak hanya berbicara tentang sebuah panganan tradisional, tetapi juga tentang sebuah filosofi mendalam yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. Kue keranjang bukan sekadar hidangan khas Imlek, melainkan simbol harapan, keberuntungan, dan keterikatan dengan leluhur yang terus terjaga dalam budaya Tionghoa. Hal itu sebagaimana Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili, yang bertepatan dengan 29 Januari 2025.
Sebagai salah satu elemen penting dalam perayaan Imlek, kue keranjang memiliki makna yang erat kaitannya dengan penghormatan kepada Dewa Dapur (Zao Jun). Dalam kepercayaan tradisional China, di setiap penghujung tahun, Dewa Dapur akan melaporkan segala catatan perbuatan penghuni rumah kepada Kaisar Langit. Dengan memberikan kue keranjang yang manis, diharapkan laporan yang disampaikan pun dipenuhi dengan hal-hal baik, sehingga keluarga tersebut diberkahi dengan keberuntungan dan rezeki yang melimpah sepanjang tahun mendatang.
Terbuat dari tepung ketan dan gula merah, kue keranjang memiliki tekstur kenyal dan rasa manis yang bertahan lama. Bentuknya yang bulat melambangkan keutuhan keluarga, tanpa ujung dan tanpa batas, mencerminkan hubungan yang erat dengan leluhur serta kesinambungan dalam kehidupan keluarga. Selain itu, penyajiannya yang disusun bertingkat dari ukuran terbesar hingga terkecil membentuk struktur mengerucut, melambangkan agar terjadi peningkatan rezeki, kemakmuran, serta kehidupan yang semakin baik di tahun-tahun mendatang.
Menariknya, kue keranjang memiliki kemiripan bahan dan proses pembuatan dengan dodol Garut dari Jawa Barat maupun jenang Kudus dari Jawa Tengah. Ketiga makanan ini bukan hanya berbagi bahan dasar ketan dan gula, tetapi juga proses pembuatan yang memerlukan kesabaran, tenaga, dan ketekunan tinggi. Pengadukan yang terus-menerus dalam waktu berjam-jam menggambarkan sebuah filosofi mendalam bahwa kesuksesan dan keberuntungan tidak datang dengan instan, melainkan melalui proses yang panjang, kerja keras, dan ketahanan yang luar biasa.
Dalam era modern, kue keranjang tetap mempertahankan eksistensinya, baik dalam perayaan tradisional maupun sebagai bagian dari inovasi kuliner. Beberapa produsen kini menawarkan variasi rasa, seperti cokelat, pandan, hingga keju, namun makna filosofisnya tetap terjaga. Masyarakat Tionghoa di berbagai belahan dunia masih memegang teguh tradisi ini, menjadikan kue keranjang sebagai simbol doa dan harapan bagi kehidupan yang lebih baik.
Sebagai bagian dari kekayaan budaya di Nusantara, kue keranjang mengajarkan kita tentang pentingnya menjaga tradisi, menghormati leluhur, dan memahami bahwa dalam setiap kesabaran dan ketekunan, selalu tersimpan harapan akan kehidupan yang lebih manis dan makmur. Tahun Baru Imlek bukan hanya perayaan pergantian kalender, tetapi juga momentum untuk merenungkan perjalanan hidup dan menyusun langkah ke depan dengan penuh optimisme. Kue keranjang hadir sebagai pengingat bahwa manisnya harapan harus selalu dijaga, agar keberuntungan senantiasa menyertai di sepanjang tahun yang baru.
Seperti kue keranjang yang membutuhkan kesabaran untuk dibuat, begitu pula kehidupan mengajarkan kita bahwa ketekunan dan kerja keras akan membawa hasil yang manis. Tetaplah berjuang, karena keberuntungan dan kebahagiaan akan datang bagi mereka yang tidak pernah menyerah. Gong xi fa cai! Di Tahun Ular Kayu ini, semoga kehidupan penuh dengan kemakmuran dan kelenturan untuk menghadapi setiap tantangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI