Dalam semarak peringatan 490 tahun berdirinya Masjid Menara Kudus dan menyambut tradisi tahunan Dandangan jelang Ramadhan, Festival Jajanan Jadoel hadir sebagai oase nostalgia yang memikat hati. Acara ini bukan hanya selebrasi budaya, tetapi juga wadah strategis untuk melestarikan jajanan tradisional Nusantara sekaligus mendongkrak ekonomi kreatif berbasis UMKM.
Indonesia adalah surga kuliner dengan keragaman rasa dan cerita. Jajanan jadul, seperti jenang Kudus, gemblong, wingko babat, hingga kue rangi, tidak sekadar memanjakan lidah tetapi juga menjadi penghubung lintas generasi. Festival semacam ini menghadirkan peluang untuk memperkenalkan kembali kudapan-kudapan tradisional yang mungkin telah dilupakan oleh generasi muda.
Dalam suasana festival yang meriah, pengunjung tidak hanya mencicipi rasa, tetapi juga memahami sejarah dan filosofi yang melekat pada tiap jajanan. Wilayah Kudus dan pesisir Pantura Jawa Tengah dikenal kaya akan jajanan tradisional yang tidak hanya memanjakan lidah tetapi juga memiliki nilai sejarah dan budaya. Misalnya, jenang Kudus sebagai salah satu ikon kuliner yang terkenal hingga mancanegara. Jenang Kudus memiliki tekstur kenyal dan rasa manis yang khas, terbuat dari tepung ketan, santan, dan gula aren. Jenang ini sering menjadi simbol syukur dalam berbagai acara adat, termasuk simbol kesederhanaan hidup yang tetap manis.
Jajanan lain sebagai identitas pesisir Pantura Jawa Tengah adalah Gemblong dan Getuk Lindri.
Kedua jajanan ini sering ditemukan di pasar-pasar tradisional di Pantura. Gemblong berbahan dasar tepung ketan yang beberapa tempat menggunakan lapisan gula merah. Sementara Getuk Lindri terbuat dari singkong yang ditumbuk halus dan diberi pewarna alami. Kesadaran akan makna budaya ini menjadi bagian penting dari upaya pelestarian kuliner tradisional.
Menggerakkan UMKM dan Ekonomi Kreatif
Festival Jajanan Jadoel tidak hanya menyentuh aspek budaya tetapi juga berdampak langsung pada perekonomian masyarakat. Para pelaku UMKM lokal mendapatkan ruang untuk memamerkan kreativitas dan inovasi mereka, sementara pengunjung menikmati pengalaman kuliner yang autentik. Acara seperti ini menjadi katalis bagi tumbuhnya ekonomi kreatif berbasis kuliner, sekaligus memberikan kesempatan bagi UMKM untuk bersaing di pasar yang lebih luas.
Keberhasilan acara Festival Kuliner Jadoel Kudus 2025 misalnya, telah menarik wisatawan lintas daerah. Hal itu menunjukkan bahwa kuliner tradisional bisa menjadi komoditas pariwisata unggulan dengan adanya dukungan promosi yang tepat. Dampaknya, jajanan jadul dapat menemukan pasar baru sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat.
Dandangan, sebagai tradisi tahunan untuk menyambut bulan Ramadan di Kudus, akan menjadi panggung ideal untuk menyisipkan Festival Jajanan Jadoel secara berkesinambungan. Tradisi ini menghidupkan kembali semangat kebersamaan, sekaligus menjadi ajang edukasi bagi generasi muda tentang pentingnya menjaga warisan leluhur. Selain Sate Kerbau dan Lentog Tanjung yang sudah populer, Kudus menawarkan jajanan semacam Madu Mongso, Keripik Kulit Pisang Tanduk, Geplak Sari, Gethuk Nyimuk, Intip Ketan, Kacang Bawang, Keciput, Jumputan, dan Sirup Parijoto.
Ke depan, sinergi antara pelaku UMKM, pemerintah daerah, dan komunitas budaya dapat semakin diperkuat untuk menjadikan festival ini sebagai agenda rutin yang berkelanjutan. Dengan demikian, jajanan jadul tidak hanya bertahan, tetapi berkembang menjadi ikon kuliner yang membanggakan Nusantara.
Festival Jajanan Jadoel adalah bukti bahwa melestarikan tradisi tidak harus bertentangan dengan modernitas. Justru, dengan kemasan kreatif dan relevansi yang dihadirkan, kita bisa menjadikan jajanan tradisional sebagai jembatan untuk membangun masa depan ekonomi berbasis budaya. Kudus, melalui acara Festival Jajanan ini, menunjukkan kepada Indonesia bagaimana tradisi dapat menjadi kekuatan yang menggerakkan masyarakat untuk maju bersama.