Mohon tunggu...
Muh Khamdan
Muh Khamdan Mohon Tunggu... Human Resources - Researcher / Paradigma Institute

Penikmat kopi robusta dan kopi arabika dengan seduhan tanpa gula, untuk merasakan slow living di surga zamrud khatulistiwa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Kembang Api, Terompet, dan Bakar Jagung Bagian dari Tahun Baru?

31 Desember 2024   14:19 Diperbarui: 31 Desember 2024   14:54 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemandangan Kembang Api di Singapura (Sumber: Indozone.id)

Setiap akhir Desember, langit malam kita berubah menjadi kanvas penuh warna. Suara petasan menggelegar, kilauan kembang api menghiasi langit, dan terompet memekikkan nuansa meriah. Di sudut-sudut jalan, aroma jagung bakar yang hangat menyapa hidung, melengkapi suasana pergantian tahun yang khas. Namun, mengapa tradisi ini begitu lekat dalam perayaan tahun baru di berbagai penjuru Indonesia?

Kembang api dan petasan memiliki sejarah panjang yang berakar dari tradisi Cina. Dahulu, masyarakat Cina menggunakan bunyi petasan untuk mengusir roh jahat dalam perayaan Tahun Baru Imlek. Budaya ini menyebar ke Nusantara melalui jalur perdagangan, dan meski maknanya berubah, esensinya sebagai simbol kebahagiaan dan harapan baru tetap melekat. Sejarah petasan dan kembang api dapat dilacak ke Tiongkok sekitar abad ke-9 selama masa Dinasti Tang. Pada masa itu, bahan utama petasan, yaitu bubuk mesiu (gunpowder), ditemukan oleh para alkemis yang sedang mencari ramuan keabadian.

Awalnya, bubuk mesiu digunakan untuk tujuan militer, tetapi dengan cepat menjadi bagian dari ritual dan hiburan. Campuran belerang, arang, dan nitrat menciptakan bahan mudah terbakar yang ketika dipadatkan dan dibakar, menghasilkan ledakan dan percikan api. Sebelum bubuk mesiu ditemukan, masyarakat Tionghoa membakar bambu untuk menciptakan suara keras yang dipercaya bisa mengusir roh jahat. Setelah bubuk mesiu dikenal, bahan ini mulai menggantikan bambu sebagai cara menciptakan suara ledakan.

Petasan dan kembang api tidak hanya menjadi alat hiburan, tetapi juga bagian dari keyakinan spiritual dan budaya. Dalam tradisi Tionghoa, suara keras dipercaya menakutkan dan mengusir roh jahat. Salah satu cerita terkenal yang terkait dengan tradisi ini adalah legenda Nian, seekor makhluk mitologi yang muncul setiap tahun untuk meneror desa. Menurut mitos, Nian adalah makhluk seperti singa yang memiliki tanduk di kepalanya, dengan badan seperti naga. Nian ini  pada setiap akhir tahun akan mencari keluar dari persembunyian dan mencari mangsa, sehingga suara petasan yang keras dan cahaya terang dari api bisa menakutinya dan menjauhkan ancaman.

Seiring waktu, petasan menjadi simbol perlindungan dari nasib buruk dan penyambutan keberuntungan. Ledakan petasan saat perayaan Tahun Baru Imlek dan pernikahan dianggap membawa berkah, keberuntungan, dan kebahagiaan bagi individu dan komunitas. Legenda Nian masih tetap terpelihara dalam bentuk tarian Barongsai. Oleh karenanya, perayaan pergantian tahun dalam sebagian masyarakat China adalah proses melawan ketakutan, kebersamaan komunal, dan pengharapan dari segala keberuntungan.

Di sisi lain, terompet, meski sering dianggap sebagai elemen modern, memiliki akar yang lebih universal. Suaranya yang nyaring mencerminkan seruan perubahan, layaknya tiupan tanduk dalam ritual kuno yang menandai pergantian musim atau awal era baru. Mesir Kuno, menggunakan terompet untuk mengumpulkan prajurit dalam menyambut para Dewa turun ke bumi. Dalam tradisi Yahudi, terompet dari tanduk domba jantan digunakan untuk memperingati tahun baru Yahudi, Rosh Hashanah.

Terompet kini hadir dalam berbagai bentuk dan bahan, mulai dari plastik warna-warni hingga terompet elektronik yang dapat digunakan berkali-kali. Meski tidak lagi memiliki fungsi sakral, tradisi meniup terompet tetap hidup dan relevan dalam perayaan Tahun Baru sebagai simbol universal kebahagiaan. Sejarah terompet dalam perayaan malam Tahun Baru menunjukkan transformasi budaya yang menarik, dari alat sakral dalam ritual kuno hingga simbol modern perayaan yang inklusif. Melalui suara nyaringnya, terompet membawa pesan universal, yaitu semangat awal yang baru, harapan, dan kegembiraan yang melintasi batas waktu dan budaya.

Jagung Bakar: Kehangatan di Tengah Kebersamaan

Bakar-bakar jagung mungkin terasa lebih lokal, namun tradisi ini mencerminkan kearifan budaya agraris masyarakat Indonesia. Jagung, sebagai salah satu hasil bumi utama, menjadi simbol kesederhanaan dan kebersamaan. Proses membakar jagung yang dilakukan bersama keluarga atau teman, menghadirkan momen intim di tengah gegap gempita perayaan.

Dalam budaya masyarakat Maya dan Aztek di Meksiko, jagung dianggap sebagai hadiah dari dewa. Ritual membakar jagung dilakukan sebagai bagian dari upacara syukur atas panen. Tradisi ini masih hidup dalam festival lokal, seperti perayaan panen Elote Asado.  Pada masyarakat Brazil, selama perayaan Festa Junina di bulan Juni, membakar jagung menjadi bagian dari ritual penghormatan terhadap hasil bumi dan doa untuk panen berikutnya.

Di Afrika, jagung adalah makanan pokok di banyak negara, seperti Nigeria, Ghana, dan Afrika Selatan. Membakar jagung sering dilakukan saat perayaan komunitas atau festival panen. Kegiatan ini menjadi ajang berkumpul, berbagi makanan, dan menjalin solidaritas sosial. Di Indonesia, bakar jagung menjadi tradisi yang akrab di berbagai daerah, terutama saat perayaan malam Tahun Baru, acara keluarga, atau momen santai bersama teman. Di daerah agraris, seperti Jawa dan Sumatra, bakar jagung dilakukan sebagai bentuk syukur atas hasil panen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun