Langkah pertama saya di Kota Lama Semarang terasa seperti memasuki set film yang dirancang dengan sempurna, seperti kombinasi The Infinite Happiness dan The Architect. Di sini, bangunan tua tidak hanya berdiri sebagai saksi bisu masa lalu, tetapi juga bercerita tentang bagaimana arsitektur mampu memengaruhi ruang dan kehidupan manusia. Perjalanan ini membawa saya melewati Gereja Blenduk, bekas perkantoran kolonial, dan Lawang Sewu, sebuah eksplorasi yang menggabungkan desain, sejarah, dan petualangan.
Gereja Blenduk, dengan kubahnya yang megah dan fasad klasiknya, menyambut saya seperti karakter utama dalam film. Dibangun pada tahun 1753, gereja ini merupakan lambang arsitektur kolonial Eropa yang mengadopsi elemen simetri sempurna. Saat memasuki interior, saya merasa seperti berada di dalam ruang yang dirancang untuk menenangkan jiwa. Langit-langit tinggi dan jendela kaca patri memungkinkan cahaya masuk dengan lembut, menciptakan permainan bayangan yang mengingatkan pada karya sinematografi apik dalam The Infinite Happiness. Gereja ini bukan sekadar tempat ibadah, ini adalah dialog antara manusia dan ruang yang abadi.
Dari Gereja Blenduk, saya melangkah ke deretan bekas perkantoran yang kini sebagian besar kosong atau beralih fungsi. Bangunan-bangunan ini, dengan pilar-pilar besar dan dinding bata yang mengelupas, memiliki cerita tersendiri. Bangunan tua itu adalah representasi zaman ketika arsitektur tidak hanya tentang keindahan, tetapi juga tentang kekuatan dan kekuasaan.
Saat berjalan di koridor-koridor yang sepi, saya membayangkan hiruk-pikuk masa lalu. Pegawai yang sibuk, kertas-kertas yang menumpuk, dan langkah kaki yang bergema. Di sini, elemen The Architect terasa kuat. Bagaimana sebuah bangunan dirancang tidak hanya untuk melayani fungsi tertentu, tetapi juga memengaruhi perilaku dan rutinitas manusia yang menghuninya. Saat ini, ruang-ruang itu semua menghadirkan tantangan baru, bagaimana mereka bisa dihidupkan kembali tanpa kehilangan jiwanya?
Lawang Sewu: Gerbang Seribu Cerita
Perjalanan saya berakhir di Lawang Sewu, bangunan ikonik yang berdiri megah di tengah hiruk-pikuk Semarang. Dikenal sebagai gedung dengan "seribu pintu," Lawang Sewu adalah labirin arsitektur yang mengundang rasa penasaran sekaligus sedikit rasa takut, seperti adegan dalam film The Architect yang membahas ruang sebagai teka-teki.
Bangunan ini dirancang oleh arsitek Belanda dengan gaya Art Deco yang mencolok, tetapi juga memanfaatkan elemen tropis seperti ventilasi besar untuk sirkulasi udara. Saat berjalan di lorong-lorong panjangnya, saya merasakan kontras antara keindahan estetika dan bayangan sejarah kelam, dari masa kolonial hingga fungsi gedung ini sebagai penjara pada masa perjuangan kemerdekaan. Lawang Sewu mengingatkan saya tentang bagaimana ruang dapat memiliki "ingatan" yang tidak pernah benar-benar hilang.
Seperti film The Infinite Happiness yang merayakan hubungan manusia dengan ruang yang mereka huni, dan The Architect yang mengkritisi desain untuk memengaruhi perilaku manusia, perjalanan ini adalah eksplorasi multidimensi. Gedung-gedung tua di Semarang adalah karakter dalam narasi besar sejarah, tetapi juga menjadi pengingat bahwa arsitektur adalah tentang manusia, tentang bagaimana kita menciptakan ruang dan bagaimana ruang tersebut membentuk kita.
Semarang, dengan warisan kolonialnya, adalah perpaduan antara keindahan dan tantangan. Gedung-gedung tua ini menawarkan pelajaran tentang keabadian desain dan pentingnya merawat sejarah. Jika kota ini adalah sebuah film, maka setiap sudutnya adalah adegan yang mengundang kita untuk berhenti, merenung, dan merasakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H