Ada sesuatu yang ajaib tentang bagaimana film dapat mencerminkan perjalanan hidup kita, baik itu petualangan epik, momen kecil penuh makna, atau perjalanan menemukan diri sendiri. Bagi saya, pengalaman menikmati kopi di berbagai wilayah di Indonsia sering terasa seperti menghidupkan kembali adegan dalam dua film favorit saya: The Map of Tiny Perfect Things dan The Secret Life of Walter Mitty.
Dalam The Map of Tiny Perfect Things, karakter utamanya menemukan keindahan dalam detail kecil yang sering terlewatkan. Saya mengingat ini ketika sedang duduk di sebuah kedai kopi kecil di BBeurae, Banda Aceh. Di Kdai Kopi Cut Zein, barista dengan sabar menuangkan air panas ke dalam bubuk kopi Gayo melalui dripper keramik. Setiap tetesan terasa seperti penghormatan pada momen itu sendiri, seolah-olah waktu melambat untuk memberi ruang pada aroma kopi yang perlahan memenuhi ruangan.
Momen itu membuat saya sadar, sebagaimana di film, bahwa kesempurnaan ada dalam hal-hal kecil. Â Suara uap mesin kopi, senyum tulus dari barista, dan cahaya matahari yang menyelinap melalui jendela kayu. Kenikmatan seolah takut menghilang dengan suguhan jajanan serabi, risol, dan otak-otak bakar.
Melarikan Diri ke Dunia yang Lebih Besar
Di sisi lain, The Secret Life of Walter Mitty mengingatkan akan petualangan dan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Salah satu pengalaman paling berkesan saya adalah perjalanan ke Tempur, Jepara, di mana saya mendaki perbukitan untuk menemui seorang petani kopi. Di sanalah saya disuguhi secangkir kopi hitam pekat yang diproses secara tradisional, sangrai. Kopi yang begitu murni sehingga rasanya seperti menggenggam jantung dari petualangan itu sendiri.
Ketika menyeruput kopi Tempur dari atas Pegunungan Muria itu, saya memikirkan Walter Mitty yang melintasi Islandia, Greenland, hingga Himalaya, semua demi sebuah misi. Perjalanan saya tidak seheroik itu, tetapi setiap langkah di Puncak Pegunungan Muria terasa seperti perjalanan menuju sesuatu yang lebih besar dari diri saya, seperti menyentuh esensi manusia dan alam yang saling terhubung.
Baik Banda Aceh maupun Jepara, keduanya mengajarkan bahwa perjalanan terbaik bukan tentang destinasi, melainkan tentang bagaimana kita hadir di setiap langkahnya. Sama seperti di film, hidup adalah tentang menemukan kesempurnaan kecil yang terbungkus dalam momen sederhana. Sebuah senja di kedai Rusen Kopitiam, Singkawang, aroma karamel bercampur susu dengan biji kopi yang mengepul di Jalan Niaga Melayu, atau tawa akrab di warung kopi pinggir danau Sipin di Hello Sapa, Telanaipura, Jambi, serasa menjadikan diri menemukan momen yang tidak ingin hilang.
Kopi, seperti perjalanan, adalah pengingat akan hal-hal kecil yang membuat kita tetap hidup. Seperti dalam The Map of Tiny Perfect Things, kita semua adalah kartografer, memetakan momen-momen sempurna dalam secangkir kecil kebahagiaan.
Jadi, ketika Anda menyeruput kopi berikutnya, cobalah berhenti sejenak. Apakah Anda sedang berada di kafe modern di Levant Boulangerie Jakarta bergaya Perancis atau di Caf La Pasion di Jimbaran Bali yang bergaya Meksiko, ingatlah untuk menemukan "kesempurnaan kecil" di setiap tetesnya. Karena, seperti Walter Mitty, kita tidak perlu hidup dalam imajinasi. Dunia nyata, dengan kopi dan perjalanannya, sudah lebih dari cukup menakjubkan. Dan akan semakin menemukan keluarbiasaan dengan kehangatan pisang goreng maupun nasi goreng tradisi kuliner nenek moyang.
Tidak Mau Terjebak Zona Nyaman
Ada momen dalam hidup ketika kita merasa terjebak dalam rutinitas. Sama seperti Walter Mitty dalam The Secret Life of Walter Mitty, yang akhirnya keluar dari dunianya untuk mengejar sesuatu yang lebih besar, perjalanan ngopi Nusantara saya dimulai sebagai sebuah pelarian kecil. Namun, seperti Walter, saya menemukan lebih dari yang saya cari, yaitu cerita, rasa, dan keberanian untuk terus melangkah.