Rasa syukur zen membuncah, berhasil menyelesaikan semua rintangan dari sang maha pencipta. Satu kunci yang selalu terngiang-ngiang dari kecil pesan pak tua “ingat dengan kekuatan doa”, itulah pesan pak tua guru ngaji iqra semasa kecil. Sampai sekarang pesan pak tua tidak pernah pudar di dalalm dadanya. Zen sangat lemah tapi dengan doa menjadi kuat. Zen sangat bodoh, dengan doa menjadi pintar. Hidup zen berlumuran doa, setiap kaki melangkah kemanapun pasti selalu ingat denga doa.
Terkadang teman-teman zen merasakan aneh padanya, kenapa zen begitu kuat bangun malam sampai kesubuh lagi dan nyatanya rasa ngantukpun tidak pernah menghampirinya ketika siang hari. “zen kenapa kamu ko kuat banget bangun malam?” tanya teman-teman zen di pojokan sudut kamar asrama. “kamu ingin tau kenapa ana seperti ini?” jawab zen dengan meyakinkan. “ya... pastilah mau” jawab teman-teman zen dengan serempak berharap zen memberitahu mereka. “ana adalah manusia, ana banyak kekurangan, dan Dialah maha sempurna, ana hanya bisa berdoa dan berdoa kepada-Nya, ana gak bisa berbuat apa-apa tapi Dia yang berkehendak, ana tunduk pada-Nya, kenapa ana akhir-akhir ini sangant kencang bangun malam, ada banyak persoalan yang mengganggu ana dan ana tak kuasa menghadapi semuanya karna jarak diantara ana dan dia, orang tua ana sakit keras, bentar lagi mau ujian, soal-soal dari guru begitu banyak, di tambah banyak persoalan yang ana belum selesaikan, Pikiran ana bercabang-cabang seperti halnya ana memakai banyak cincin, ana takut sekali akhir-akhir ini”. Teman-teman zen diam seketika, terasa ketimpa beban-beban berat yang dirsakannya. semua teman-teman zen memeluk dan berdoa semoga semua kesulitan di permudah oleh Allah SWT.
Zen sudah tidak kuat menahan semua ini, sebelum ujian semester benar-benar di mulai. Lonceng berbunyi tanda semua tullab istirahat. Zen langsung melangkahkan kaki secepat kilat ke kantor perizinan pulang. Badan kaku tidak bisa bergerak bagaikan patung, seolah-olah malaikat Izroil mencabut nyawa tinggal satu langkah dari tenggorokan, melihat papan pengumuman tergantung di depan pintu kantor “tidak ada perizinan pulang”. Zen mengelus dada, air matapun jatuh dengan sendirinya. Zen berdoa “ya Allah kuatkanlah hambamu ini, ana yakin dengan kekuasaan-Mu, semuanya menjadi mudah”. “ingat zen dengan kekuatan doa” terlintas kata-kata pak tua semasa kecilnya. Dengan kalimat basmalah zen memberanikan diri mengetuk pintu berharap mereka mengijinkan. Ketukan pertama bersamaan dengan kalimat salam tidak ada jawaban dari ust, ketukan kedua ada suara kaki melangkah menghampiri pintu tapi tak kunjung di buka, ketukan ketiga mulai terdengar suara langkahan kaki mendekat kedepan pintu kantor.
“wa`alaikumsalam” jawab pak kiayi. ternyata ust-ust perizinan pulang tidak ada malahan pak kiyayi yang ada di dalam kantor. Biasanya pak kiyayi keliling pondok sekali dalam seminggu.
“ada apa kamu datang ke kantor perizinan pulang” tanya pak kiyayi dengan penasaran.
“sebelumnya maaf pak kiyayi, sebenarnya kedatangan ana ke kantor, berharap ust memperbolehkan ana izin pulang, karna orang tua ana sakit” jawab zen dengan gugup berharap pak kiyayi sendiri yang mengizinkan.
“sakit apa zen?”
“yang ana dengar dari adik ana, ibu sakit kanker otak stadium 3, dan sekarang ibu terbaring di rumah sakit, jika di perbolehkan..! ana minta izin pulang beberapa hari sebagai rasa tanggung jawab ana sebagai anak tertua dari keluarga ana, pak kiyayi...!” timbal zen meyakinkan pak kiyayi dengan suara rendah. Inilah keadaan pondok zen, pondok yang sangat ketat, sangat memperhatikan disiplin, sangat susah sekali izin pulang, tapi semata-mata semua ini dilakukan pak kiyayi demi santri-santrinya tercinta, demi keberhasilan mereka, mempunyai mental baja bukan mental tempe.
“saya izinkan cukup 3 hari, karna sebentar lagi mau ujian, jangan samakan ujian di pondok dengan ujian sekolah lainnya, buatlah orang tuamu bangga dan menangis karna kesuksesanmu...” jawab pak kiyayi dengan tegas.
“iya pak kiyayi, saya paham.. syukron atas perhatiannya” zen merasa lega, karna pimpinan pondok sendiri yang mengizinkan.
Puluhan tiang listrik serasa jatuh serempak di kepala zen setelah mendengar pesan-pesan ibunya di rumah sakit. “ibu kok nangis.. !, seharusnya ibu senang dengan kedatangan zen anak mu” sapa zen yang melihat butiran embun di pipi sang ibunda. “ada apa bu ?” lanjutnya sambil mendekati ibunda yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. “saya sangat kecewa dengan mu zen.. kenapa kamu pulang dari pesantren sebentar lagi kamu ujian akhir semester... jika kamu sayang ibu sekarang kamu pergi ke pondok teruskan belajar mu” timbal ibunda dengan suara keras tanpa kasihan . Begitulah sifat orang tua zen, walaupun sakit di deritanya begitu pedih tapi semangat mendidik anak-anaknya luar biasa.