Siang yang panas menyengat. Poli rawat jalan puskesmas tempat saya bertugas baru usai. Poli rawat jalan ini buka sejak pukul 08.15 sampai pukul 12.15. Pasien sekitar 50 orang hari ini bisa diselesaikan dalam waktu 4 jam. Padahal standar pelayanan sebenarnya minimal satu pasien ditangani dalam 15 menit. Waktu 4 jam seharusnya hanya untuk 16 pasien namun saya menggunakannya untuk 50 orang pasien :-). Berarti satu pasien bisa dilayani hanya dengan 5,2 menit. Seharusnya perlu waktu 750 menit (12,4 jam). Tangan masih pegal setelah menulis status dan resep 50 pasien. Diagnosa kilat, resep komplit ala puskesmas, bila perlu periksa laboratorim sedehana atau menulis resep untuk diambil di apotek terdekat. Istrahat dulu sebebentar di UGD. Ada beberapa pasien di dalam yang hanya ganti perban luka saja. Perawat UGD yang melayani mereka.
Hari ini hanya satu orang dokter yang bertugas di puskesmas, yah.. saya sendiri yang juga merangkap sebagai kepala puskesmas, dokter poli umum dan sekaligus dokter jaga di UGD yang buka 24 jam. Suatu hal yang cukup melelahkan. Sebenarnya ada satu orang dokter lagi di puskesmas ini, tapi barusan selasai masa bakti. Maklum dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap), makanya tidak tetap berada di Puskesmas. Kadang saya mengartikan dokter PTT sebagai dokter yang Pergi Terus-Terusan karena sering meninggalkan tugas dengan alasan pulang kampung atau urusan lainnya.
Puskesmas saya merupakan puskesmas di ibu kota kabupaten. Rumah sakit kabupaten sudah ada, tapi tidak ada seorang dokter spesialispun yang mau bertugas disana. Jadi hampir tidak ada bedanya dengan puskesmas. Jumlah pasien yang berkunjung ke puskesmas saya sepertinya masih lebih banyak dibandingkan yang mau ke rumah sakit. Mungkin karena letak rumah sakit yang agak jauh dari pusat pemukiman penduduk serta belum ada dokter spesialis yang menjadi daya tarik orang untuk berobat kesana. Bila ada pasien yang akan dirujuk dari puskesmas, harus dirujuk ke kabupaten lain yang memiliki dokter spesialis.
Tiba-tiba masuk seorang pria umur sekitar 45 tahun dengan mengeluh sakit ulu hati dan kelihatan pucat dan keringat dingin bercucuran. Huh.. belum hilang capek, ada lagi pasien. Setelah memeriksa pasien saya menyimpulkan kemungkinan serangan jantung dengan diagnosa pembanding serangan maag akut. Dia seorang perokok berat dan pecandu kopi, tidak pernah sakit maag sebelumnya. Salah satu orang tuanya meninggal karena serangan jantung. Tidak ada alat perekam jantung (EKG) di puskesmas saya untuk memastikan diagnosis. Sayapun segera memberikan oksigen dan obat jantung yang diletakkan di bawah lidah sambil mempersiapkan rujukan.
Ketika saya sedang menulis rekam medik dan rujukan, tiba-tiba pasien seperti seperti kejang dan langsung tak sadarkan diri. Nadi langsung tak teraba, arteri karotis (di leher) juga tak teraba. Kejadian berlangsung begitu cepat. Pertunjukkan pemberian bantuan hidup dasar kembali terjadi di UGD ini. Keluarga pasien menyaksikan semua yang kami lakukan. Menindih dada anggota keluarganya puluhan kali. Ada yang teriak histeris. Tidak sempat lagi saya menyuruh keluarga pasien untuk menuggu di luar ruangan. Beruntung saya baru saja pulang mengikuti pelatihan ACLS dan salah seorang perawat saya juga sudah mengikuti pelatihan BCLS.
Alat perekam dentut jantung (EKG) dan alat kejut jantung (DC-Shock) tidak ada. Ambulan cepat merapat ke UGD. Pertolongan di lanjutkan dalam ambulan. Pasien dirujuk secepatnya dengan jarak tempuh ke rumah sakit kabupaten tetangga sekitar 1 jam. Data statistik menunjukkan bahwa hanya sekitar 10 % pasien yang bisa tertolong dengan pemberian bantuan dasar dan lanjutan yang baik. Dan benar saja, sebelum sampai di rumah sakit, pasien sudah tidak menunjukkan respon sama sekali. Satu lagi penduduk bumi yang meninggalkan dunia ini.
Sore harinya keluarga pasien menuntut saya atas dugaan malpraktek. Mereka menuduh saya memberikan obat yang salah, terlambat merujuk, pertolongan tidak maksimal.., pasiennya datang ke puskesmas masih segar bugar. Kok tiba-tiba langsung meninggal dunia. Itukan berarti salah obat.. setelah minum obat yang saya berikan langsung kejang-kejang. Ya ampun... nasib...nasib... :-)
Jeuram, Desember 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H