Mohon tunggu...
Muhammad Jabir
Muhammad Jabir Mohon Tunggu... profesional -

Urologist || http://muhammadjabir.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menyikapi Fatwa Ulama

23 Januari 2010   22:53 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:18 1736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

[caption id="attachment_59722" align="alignleft" width="300" caption="imagesource:locustempus.blogspot.com"][/caption] Sebagai orang seorang muslim yang kurang paham agama dan tidak bisa menggali status hukum terhadap suatu masalah,  maka saya memilih takliq-mengikuti- terhadap apa yang diputuskan para 'ulama'. Namun saya sedikit heran dengan  sikap beberapa kaum muslimin yang sepertinya antipati atau bahkan mengatakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) kurang kerjaan dengan mengeluarkan fatwa 'aneh' atau konyol bagi mayarakat. Saya cenderung mengikuti fatwa tersebut walau ada beberapa fatwa yang saya kurang setuju karena mungkin karena saya yang tidak  mengerti duduk persoalannya apalagi dalil-dalil syar'i-nya. Saya juga mendukung dan setuju dengan fatwa tentang haramnya wanita menumpang pada pengojek pria asing (nonmuhrim)  atau menjadi tukang ojek bagi pria yang bukan muhrimnya sebagaimana yang pernah ditulis Bang ASA di Kompasiana tentang Wanita Naik Ojek? Haram, Nih, Yeee. Mungkin kurang bijak apabila kita menghakimi para ulama kita sebagai orang/lembaga yang kurang kerjaan atau kehabisan proyek serta mencari sensasi disaat kita belum mengerti tentang hakikat fatwa dan apa yang difatwakan oleh para ulama. Berikut hasil googling saya : 1. Apakah Fatwa Itu ? Menurut kamus (KBBI) fatwa berarti“1 keputusan perkara agama Islam yg diberikan oleh mufti atau alim ulama tt suatu masalah; 2 nasihat orang alim; pelajaran baik; petuah.” KBBI juga mengartikan petuah antara lain sebagai “1 keputusan atau pendapat mufti (tt masalah agama Islam); fatwa; 2 nasihat orang ahli; pelajaran (nasihat) yg baik. Atau ringkasnya fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. 2. Siapakah yang berhak menjadi muftiy (yang mengeluarkan fatwa)? Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu, maka, kaedah pengambilan fatwa tidak ubahnya dengan kaedah menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil syariat (ijtihad). Satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad, tidak ada yang lain. Oleh karena itu, seorang muftiy tak ubahnya dengan seorang mujtahid (orang yang melakukan ijtihad). Di kalangan ‘ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan “istafraagh al-wus’iy fi thalab al-dzann bi syai’i min ahkaam al-syar’iyyah ‘ala wajh min al-nafs al-‘ajziy ‘an al-maziid fiih”; yakni mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil dzanniy (belum pasti), hingga batas dirinya merasa tidak mampu melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkannya. Imam Syafi’I berkata tentang fatwa: “Tidak halal seseorang memberikan fatwa tentang agama Allah, kecuali mengerti seluk beluk kitab Allah, tentang nasikh dan mansukhnya, muhkam dan mutasyabihnya, ta’wil dan tanzilnya, makiyah dan madaniahnya, apa yang dikehnedakinya dan dalam hal apa ayat tersebut diturunkan. Setelah ia mengerti tentang hadits Rasulullah SAW, tentang nasyikh dan mansyukhnya mengerti seluk beluk hadits sebagaimana mengerti seluk beluk Al Qur’an, mengerti bahasa Arab, dan mengerti nilai rasa bahasa Arab, mengerti persoalan (perangkat) yang diperlukan oleh ilmu dan Al Qur’an. Selain itu dia harus mampu bersifat pendiam (memperhatikan), tidak hanya bicara setelah itu dia menghormati pendapat para ahli pikir, dan memiliki kemampuan untuk berfatwa. Apabila semua syarat tersebut ada pada dirinya, maka ia boleh berbicara dan berfatwa tentang halal dan haram. Namun jika tidak demikian, ia boleh berbicara hal ihwal ilmu tapi tidak boleh member fatwa”(Khatib Al Baghdadi, Al Faqih Mutafaqqih, Jilid II, hal 157). Dari gambaran itu, sesungguhnya menunjukkan betapa sulitnya kriteria seorang mufti. Berbeda halnya di masa sekarang yang mungkin begitu mudahnya bagi para ulama untuk mengeluarkan fatwa, dan bahkan mungkin saking, sering dan mudahnya, hingga fatwa-fatwa itu tak ada yang terlaksana atau bahkan kemudian saling tumpang-tindih. 3. Persoalan  bagaimana yang difatwakan? Persoalan dalam masyarakat yang belum ada kepastian hukumnya perlu penjelasan dari para ulama. Sehingga umat mengetahui status hukumnya. Fatwa sebagai  ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat dzanniy (belum pasti). Menurut al-Amidiy, hukum-hukum yang sudah qath’iy (pasti)  tidak digali berdasarkan proses ijtihad. Sebab hukum yang terkandung di dalam nash-nash yang qath’iy (dilalahnya)-pasti penunjukkannya- sudah sangat jelas, dan tidak membutuhkan interpretasi lain, misalnya wajibnya potong tangan bagi pencuri, hukuman bagi pezina, bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.Sebab, tidak ada pertentangan atau multi interpretasi pada nash-nash yang qath’iy. Oleh karena itu, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath’iy, akan tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat dzanniy. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara ‘aqidah, maupun hukum-hukum syara’ yang dilalahnya qath’iy( pasti/jelas penunjukkannya) Ijtihad adalah proses menggali hukum syara’, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma’qulaat), maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsuusaat). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah teorema maupun hipotesa tidak disebut dengan ijtihad. Jadi hal-hal yang sudah jelas status hukumnya tidak perlu lagi difatwakan. Misal : mencuri, berjudi, makan riba - haram, berzina/selingkuh-haram, sholat-wajib, bersepi-sepi dengan non-muhrim-haram, menutup aurat-wajib, ect..Hanya masalah-masalah yang belum jelas hukumnya dalam Islam yang perlu dijelaskan melalui fatwa. Contohnya : hukum kloning dan imunisasi, hukum terapi dengan stem sel, merokok,  ect. Namun sebaiknya (menurut saya) para ulama juga sebaiknya memberikan fatwa yang menyangkut urusan kenegaraan misalnya : hukum membangun negara dengan utang, hukum menerapkan ekonomi neoliberal, dan hukum privatisasi aset negara (boleh gak dalam Islam).. jangan hanya fatwa yang menyangkut persoalan 'orang kecil' seperti pengemis, merokok, wanita naik ojek, foto pre-wedding, dan rebonding saja. :-) Semoga bermanfaat.. Sumber Tulisan :

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun