Kepalaku mulai berat. Berdenyut sakit. Badan terasa 'gak enak'.Konsentrasi buyar. Craving terhadap kopi kambuh lagi. Sudah 2 malam saya mencoba untuk cerai dengan kopi. Malam sebelumnya saya sanggup untuk tidak minum kopi, tapi saya tidur semalaman dan terbangun saat sholat shubuh dengan kepala yang berdenyut. Namun malam ini, saya benar-benar 'sakau'. Ada teman yang bilang kalau belum minum kopi, rasanya seperti 'gagal orgasme'. Sejak tinggal di Aceh, saya menjadi pecandu kopi. Kopi Aceh memang nikmat. Diantara kopi yang terkenal adalah kopi Ulee Kareng dan Kopi Gayo. Cara menyajikannya juga unik. Ada yang disaring dengan penyaring yang mirip kaos kaki sehingga kopinya tanpa ampas sama sekali. Ada kopi tubruk dengan butiran-butiran yang masih agak kasar dan disajikan dalam gelas atau cangkir yang terbalik diatas piring. Cara minumnya dengan pipet. Bila tidak terbiasa akan sedikit sulit untuk menikmati kopi ini. Seru. Saya pernah minum kopi ini dengan seorang staf ADB dari Australia, kopinya berhamburan karena si bule meniup pipet terlalu keras.. haha..
Kini kopi Aceh itu tak ada lagi. Di Surabaya tak ada kopi Aceh. Sy hanya bisa menemukan warkop dipinggir jalan yang tak elegan untuk 'cangkrukan'. Itupun sangat jarang. Bila ingin kopi yang nikmat setara kopi Aceh harus ke mal besar.
Starbucks, Black Canyon, Coffee Bean, ect. yang merupakan kedai kopi multinasional. Saya sendiripun lebih merasa nyaman
ngopi di Black Canyon Coffea House Sutos Surabaya daripada ngopi di pinggir jalan. Hanya untuk berbisnis kedai kopi, kita mesti membeli merek Amerika bila ingin keuntungan besar. Mengapa mesti mengambil merk Amerika hanya dalam tataran kopi saja? Bukankah banyak kopi lokal yang nikmatnya tidak kalah dengan kopi 'Barat'. Salah satu jawabannya karena orang barat pintar melihat peluang bisnis dan lihai mengembangkannya. Mereka kemudian menjajakannya ke seluruh dunia dan ternyata laris manis. Kita masih kalah dalam hal ini. Saya melihat adanya kebanggaan bila anak bangsa ini mengambil sesuatu dari Barat. Anak-anah mudah akan lebih bangga bila bisa menyanyikan lagu barat ketimbang dangdut apalagi keroncong atau campur sari. Beberapa artis kita sepertinya lebih bangga bila mereka bersuamikan orang barat walau mesti harus berbeda agama. Presiden kitapun lebih suka menggunakan istilah-istilah barat dalam jargon politiknya bahkan cenderung menyontek semua perilaku politik Amerika. Dunia usaha juga lebih
welcome terhadap para kapitalisme rambut pirang daripada rambut hitam. Hukum di negara kita (KUHP) juga diadopsi dari hukum Belanda. Kitapun merasa bangga bila yang kita lakukan dan nikmati berbau barat. Keren gitu loh. Bahkan tatkala mereka mereka menjajakan ideologi kapitalisme yang menjadi panutan mereka kitapun tidak menolak bahkan mungkin bangga melakoninya. Demikian pula dengan jajanan lain yang tak kalah menariknya seperti demokrasi, HAM, dan 'gender'. Semua itu produk barat kan? Semua laris manis, bahkan kitapun ikut bangga memperjuangkannya. Sepertinya bukan hanya kopi yang kita 'kopi' dari Barat. Saya khawatir jika suatu saat nanti saya kembali ke Aceh saya akan menemukan kedai-kedai kopi di Aceh sudah berganti dengan merk Barat semua. Apalagi baru-baru ini Aceh menerima gelar sebagai kampung internasional. Tapi semoga tidak demikian. Saya mengharapkan malah label Kopi Ulee Kareng yang terpampang di berbagai kedai kopi kota-kota besar di dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya