Kita mulai dari hak belajar tiga semester di luar program studi. Kebijakan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan, mengingat dengan adanya hal ini, mahasiswa akan mampu mengembangkan minat dan bakat mereka terhadap mata kuliah yang diinginkannya di luar kampus.Â
Akan tetapi bagaimana jika sistem belajar di luar kampus tersebut tidak dipergunakan sebaik-baiknya. Juga yang harus menjadi pertimbangan ialah, mana mungkin mahasiswa mau mengambil mata kuliah di kampus lain jika akreditasi kampus tersebut terbilang rendah dibandingkan akreditasi kampus tempat mereka belajar? Pada akhirnya negara Kembali mengintervensi hal demikian.Â
Dalam hal ini kampus yang mempunyai kapasitas dalam ilmu teknologi tentu akan menjadi sorotan utama dalam pemilihan kampus yang akan dilakukan oleh mahasiswa, mengingat kampus yang mempunyai kapasitas dalam bidang teknologi lebih mempunyai peluang kerja yang lebih besar.
Kedua, pembukaan program studi baru. Dalam proses membuka program studi baru, kita harus mempertimbangkan secara teliti, apakah kualitas pendidikan yang akan dihasilkan akan berbobot atau tidak menghasilkan sama sekali.Â
Sama halnya dengan pernyataan yang diberikan oleh Achmad Nurmandi yang merupakan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) bidang kerjasama dan internasional dalam artikel yang ditulis oleh Fathurrohman yang berjudul "Kebijakan merdeka belajar bikin rancu", ia mengatakan bahwa sebelum membuka program studi baru, hal inti yang harus dipikirkan sebelumnya ialah apakah pembukaan program studi baru itu akan bermanfaat atau tidak.Â
Salah satu manfaat dari membuka program studi baru menurutnya ialah dapat menarik atensi mahasiswa baru untuk masuk ke instansi tersebut.
Ketiga, Perguruan Tinggi Berbadan Hukum. Salah satu kebijakan Mendikbud yang juga menjadi polemik ialah Perguruan Tinggi Berbadan Hukum.Â
Kebijakan ini mempunyai dampak positif dan negatif. Dampak positifnya ialah, kebijakan ini memberi kemudahan bagi setiap Perguruan Tinggi Negeri yang belum berstatus Badan Hukum untuk secepatnya menjadi Perguruan Tinggi Berbadan Hukum.Â
Akan tetapi, kebijakan ini secara tidak langsung juga akan melepaskan tanggung jawab pemerintah dalam kebijakan pengelolaan kampus, artinya kampus lebih otonom dalam hal ini. Jika hal tersebut telah terjadi, maka tidak menutup kemungkinan, kampus bisa saja menetapkan aturan yang dapat memberi beban berat bagi para mahasiswa, dan mahasiswa harus siap akan hal tersebut.
Keempat, sistem akreditasi Perguruan Tinggi. Sistem akreditasi Perguruan Tinggi merupakan upaya dari pemerintah untuk meningkatkan kualitas dari Perguruan Tinggi dan Program Studi.Â
Kebijakan ini secara tidak langung memacu Perguruan Tinggi dan Program Studi untuk mencari terobosan baru agar memperoleh kualitas yang optimal dalam upaya mewujudkan pengembangan Tri Dharma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan serta pengabdian kepada masyarakat.