Mohon tunggu...
Muhammad Iskandar
Muhammad Iskandar Mohon Tunggu... Bankir - MAHASISWA MAGISTER MANAJEMEN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN PANCA BUDI (UNPAB)

New Bee

Selanjutnya

Tutup

Money

Antisipasi Perbankan Atas Penghentian Progaram Stimulus Restrukturisasi Kredit di Era Pandemi Covid-19

16 Mei 2023   00:45 Diperbarui: 16 Mei 2023   00:53 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perekonomian Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya mengalami distrupsi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 sehingga mengakibatkan perlambatan ekonomi dan penghentian sejumlah aktivitas bisnis disertai dengan ketidakpastian batas waktu pemulihan ekonomi dan mengarah pada krisis. Hal ini berdampak pada tingkat profitabilitas bank yang mengalami penurunan, padahal profitabilitas merupakan salah satu indikator keberlangsungan usaha dan operasional bank untuk periode berikutnya yang membuat bank untuk beroperasi dan mempertahankan aktivitas bisnisnya.  

Guangguan bisnis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 paling banyak dimanifestasikan dalam bentuk risiko kredit sebagai hasil dari kemerosotan kegiatan perusahaan di hampir semua sektor ekonomi. Kondisi ini menimbulkan penurunan kemampuan perusahaan dan dunia bisnis dalam menyelesaikan kewajiban kreditnya kepada pihak bank. Kebijakan pemerintah yang menetapkan pembatasan aktivitas sosial selama pandemi mengakibatkan fungsi-fungsi di perusahaan bisnis tidak dapat beroperasi maksimal atau bahkan berhenti beroperasi. Sebanyak 88 persen perusahaan di Indonesia yang terdampak pandemi di tahun 2020 dalam kondisi merugi (Kemenaker, 2020) sehingga terpaksa melakukan pengurangan jumlah karyawan, bahkan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang cukup masif. 

Keadaan ini berdampak pada peningkatan jumlah Non Performing Loans (NPL) perbankan akibat ketidakmampuan debitur perusahaan dan perseorangan untuk melunasi pinjamannya kepada bank. Selain itu meningkatnya ketidakpastian investasi bagi penyedia kredit, memaksa bank untuk melakukan tindakan selektif dan hati-hati dalam mendistribusikan kredit kepada calon debitur baru. Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia yang diterbitkan oleh OJK diketahui bahwa terjadi pengurangan jumlah kantor layanan bank sebanyak 1.466 unit per Juni 2021 (OJK, 2021). Penurunan kapasitas pembiayaan tentu sangat mempengaruhi kinerja keuangan bank dan mengancam keberlangsungan usaha perbankan. Sehingga hanya bank yang memiliki tingkat resiliensi tinggi yang diduga dapat mampu bertahan dari ancaman tersebut. Tingkat Non Performing Loans (NPL) yang tinggi selama pandemi Covid-19 terjadi pada perbankan di Indonesia. Krisis akibat pandemi Covid-19 juga memaksa perbankan untuk melakukan sejumlah upaya pembenahan manajemen risiko yang bertujuan meminimalkan dampak buruk pandemi terhadap kinerja keuangannya. Risiko akibat peningkatan Non Performing Loans (NPL)  dapat mengurangi nilai ekuitas dan pendapatan bunga dari kredit yang bermasalah tersebut.

Ratio Non Performing Loans (NPL) termasuk salah satu faktor penting penilaian kinerja suatu bank  dapat mempengaruhi pertumbuhan distribusi loan karena bank akan melakukan upaya mitigasi risiko kerugian di periode berikutnya. Kebijakan tersebut mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan kredit selama pandemi berlangsung sementara jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) yang dihimpun oleh bank tetap harus distribusikan dalam bentuk loan (Pembiayaan) yang cenderung mengalami penurunan .

Untuk mengatasi hal tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan restrukturisasi kredit selama pandemi Covid-19 kepada debitur baik individu maupun badan usaha yang mengalami kesulitan pembayaran, sehingga diharapkan dapat menurunkan jumlah Non Performing Loans (NPL) namun ternyata kebijakan tersebut memberikan dampak yang bervariasi antar bank. Skema restrukturisasi kredit ditentukan oleh kebijakan masing-masing bank tergantung pada hasil penilaian bank terhadap profil debitur, pemberian fasilitas restrukturisasi kredit mungkin dapat membantu arus kredit selama pandemi tetapi fasilitas ini berpotensi risiko yang cukup besar dalam jangka menengah dan mengancam kestabilan keuangan . Manajemen bank diharapkan dapat mengambil keputusan yang bijaksana dalam mengimplementasikan skema restrukturisasi kredit tersebut. Hal positif yang dialami oleh bank adalah Loans to Deposit Ratio (LDR) yang menurun mengarah pada tingkatan yang ideal. Namun di sisi lain penurunan jumlah distribusi kredit dapat mempengaruhi pengurangan tingkat profitabilitas bank dan sebaliknya dapat meningkatkan financial cost yang harus ditanggung oleh bank . Salah satu variabel yang dapat dijadikan sebagai alat ukur untuk menilai tingkat profitabilitas dan pertumbuhan bank adalah melalui rasio Net Interest Margin (NIM) yang dapat mengetahui kemampuan bank dalam mengelola aset-aset produktif dan kualitas kredit yang disalurkan untuk menghasilkan pendapatan bunga bersih. Net Interest Margin (NIM) diukur dengan melakukan perbandingan nilai Pendapatan Bunga yang diperoleh dari loan dengan jumlah Biaya Bunga yang harus dibayarkan kepada pemilik Dana Pihak Ketiga (DPK). Semakin besar nilai rasio Net Interest Margin (NIM) maka semakin tinggi tingkat profitabilitas dan pertumbuhan laba suatu bank .

Seiring dengan penurunan angka restrukturisasi kredit terdampak Covid-19 maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan menghentikan kebijakan restrukturisasi pada Maret 2023 secara umum. OJK hanya akan memperpanjang restrukturisasi kredit Covid-19 kepada segmen UMKM yang mencakup sektor penyediaan akomodasi, makan – minum dan beberapa industri yang menyediakan lapangan kerja besar seperti industri tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri alas kaki.
Direktur Eksekutif Penelitian dan Pengaturan Perbankan OJK Anung Herlianto mengatakan bahwa sebenarnya sudah banyak negara yang menghentikan kebijakan restrukturisasi tersebut seiring dengan pemulihan ekonomi pasca pandemi. Berdasarkan hasil survei International Monetary Fund (IMF), terdapat 51 negara di dunia sudah meisasi kebijakan restrukturisasi Covid-19 mereka. "Di negara G20 hanya Indonesia yang masih menjalankan restrukturisasi," ujarnya dalam seminar virtual yang digelar oleh Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI). Menurutnya OJK masih memperpanjang restrukturisasi Covid-19 secara terbatas karena mempertimbangkan adanya potensi dampak risiko buruk yang tiba-tiba menyebabkan kegagalan massal (Cliff Effect), ketika restrukturisasi terlalu cepat dihentikan maka akan menimbulkan Cliff Effect di industri perbankan. "Kemudian, terjadi penurunan aktifitas pinjaman yang disebabkan kelangkaan sumber Dana Pihak Ketiga (Credit Crunch) yang akan menghambat pemulihan ekonomi."

OJK menilai ketidakpastian ekonomi global masih tetap tinggi, utamanya disebabkan oleh pengetatan moneter bank sentral AS (The Fed), ketidakpastian kondisi geopolitik serta laju inflasi yang tinggi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi dunia  kedepan tidak terhindarkan, sebagaimana diperkirakan oleh berbagai lembaga internasional. Berdasarkan hal tersebut OJK memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan hingga 31 Maret 2024.

Pada awal tahun 2020 Otoritas Jasa Keuangan Indonesia telah menerbitkan POJK Nomor 12/POJK.03/2020 yang menetapkan Batas Minimum Modal Inti bagi perbankan di Indonesia. Kemudian diikuti oleh POJK Nomor 12/POJK.03/2021 yang mengatur pengklasifikasian bank di Indonesia berdasarkan kepemilikan modal inti menggantikan pengklasifikasian yang lama. Peraturan-peraturan tersebut memacu bank di Indonesia untuk melakukan konsolidasi dan restrukturisasi permodalan agar dapat memenuhi persyaratan yang ditetapkan dengan harapan memiliki tingkat resiliensi yang lebih tinggi dalam menghadapi situasi krisis.

Untuk mengantisipasi penghentian program stimulus restrukturisasi kredit di era pandemi Covid 19 Manajemen perbankan diharapkan untuk terus memperkuat kepemilikan modal hingga mencapai tingkat Capital Adequacy Ratio (CAR) yang tinggi dan mampu memitigasi potensi risiko kredit untuk menekan Non Performing Loans (NPL) melalui penerapan prinsip selektif dan prudent dalam mendistribusikan loans. Selain itu, bank diharapkan tidak menggantungkan sumber profit hanya dari pendapatan bunga kredit. Secara bersamaan, para regulator diharapkan dapat terus menjalankan fungsi pengawasan dan kontrol yang efektif melalui penerbitan peraturan atau regulasi yang bersifat antisipatif serta dinamis mengikuti perubahan kondisi ekonomi di masa yang akan datang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun