Mohon tunggu...
Muhammad Isa
Muhammad Isa Mohon Tunggu... -

Food Science and Technology\r\nUniversitas Sebelas Maret, Solo

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Paradoks Sistem Pangan

4 Mei 2015   02:39 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:24 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kesempatan kali ini, saya mendiskusikan beberapa hal tentang pangan dari berbagai pandangan di Kedai Keblasuk Yogyakarta, berkaitan peta sistem pangan, seperti gerakan revolusi hijau, dimana menurut petani yang merupakan korban revolusi hijau tersebut menyatakan, gerakan tersebut menghancurkan sistem pangan saat ini.
Menurutnya, dulu petani menanam di pagar – pagar depan rumah pangan umbi”an, hal tersebut juga serupa untuk menyadarkan akan pentingnya sarapan, jadi mereka makan ubi di pagi hari. Namun, pada saat masuk revolusi hijau, masyarakat di doktrin oleh akademisi, karena makan ubi dan semacamnya itu bikin bodoh, serta dimasa kini, pagar sudah diganti dengan bangunan dari semen. Padahal ini adalah persepsi yang salah. Selain itu, kebijikan pemerintah yang salah, seperti raskin. Coba kalau kalian dikasih raskin, mau makan tidak? serta, subsidi pupuk, dan juga praktik tengkulak yang memainkan harga.

Tidak hanya berkaitan tentang revolusi hijau, ada juga yang membahas tentang tanaman transgenik, dimana 80 – 90 % kedelai dan jagung di Indonesia adalah trangenik. Menurutnya konsumsi makanan tersebut dapat menyebabkkan berbagai penyakit, sehingga untuk pencegahan tersebut, pemahaman ataupun edukasi untuk mengetahui asal usul makanan perlu dilakukan, serta perlu juga untuk mengetahui tanaman yang sesuai dengan musimnya, dan makan makanan sesuai dengan musimnya.

Di sisi lain perlu juga membangun kemandirian pupuk dengan pengolahan pupuk kompos, serta bank tani untuk peminjaman bibit, sehingga petani tidak perlu tergantung pada kedatangan pupuk, yang sering kali dipermainkan harganya, dan hanya untuk kepentingan industri.

Diskusi berlanjut dengan penyampaian combine harvester, yaitu, alat untuk memanen, dengan alat tersebut petani dapat memanen dengan cepat di lahan besar. Namun, menurutnya hal tersebut sangat aneh, petani di Indonesia sekarang lahannya sangat kecil, sehingga kalau ada alat tersebut, jelas akan mengurangi petani di desa.

Peta permasalahan atau konflik pangan sangatlah luas, perlu kajian lebih mendalam, pemahaman dari diri sendiri akan kepedulian nasib lingkungan dan petani. Pangan kita butuhkan setiap harinya, bukankah kita perlu menghargai siapa yang membuat makanan tersebut, yang berjuang untuk menanamnya, sehingga kita bisa tercukupi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun