Mohon tunggu...
Muhammad Irsyad
Muhammad Irsyad Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Penikmat literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Safira dan Senja

25 September 2024   16:13 Diperbarui: 25 September 2024   16:17 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

     

          Aku tahu, sejak hari pertama kali kita bertemu, terpancar jelas aura keceriaan di wajahmu, yang tak pernah sekalipun engkau tutupi. Sikapmu, perangaimu bahkan hatimu seakan bercahaya terang, laksana sinar rembulan di pertengahan malam. Senyumanmu bagaikan tawa matahari yang mampu menyinari dunia dengan segala keindahannya. Namun, suaramu berubah berat, penuh tekanan di saat harus mengucapkan kata-kata ini.

"Kak .... Fah ... m ... ii ..."

Aku terdiam. Sungguh, keadaan ini sangat sulit bagi diriku dan juga bagi dirimu. Suaranya terdengar serak, parau dan begitu bergetar. Sampai kapan pun, sepertinya kami berdua, suka tidak suka, mau tidak mau, takkan pernah bisa bersatu. Kini, tampak olehku, kedua bola matanya sudah berkaca-kaca, menahan pedih yang teramat perih.

 Kak ... tolonglah hadir ... di hari pernikahanku!!!"

 "Setidaknya, ini ... adalah permintaanku, padamu!"

 Aku mematung, diam seribu bahasa. Mulutku kelu, berat, seakan penuh sesak. Tak sanggup lagi, takkan bisa aku memberikan jawaban yang pada akhirnya pasti membuat kami berdua sama-sama terluka. Wajahku pucat menahan getir. Kali ini, suaranya terdengar lirih, penuh sesal. Hatinya suram, pedih seakan-akan teriris menahan perih. Kedua tangannya menggenggam erat, menaruh harap pada tatapan mataku yang kosong. Dengan linangan air mata dan wajah yang pilu, tiba-tiba saja, ia berteriak, memecah keheningan.

 "KAAKKKK    FAAHHHMMMMIIIIIIIIIIII ................"

Aku terkejut, bangun ... lalu membuka mataku lebar-lebar, tak menyangka perkara ini begitu pelik, sampai-sampai terbawa mimpi. Pekik suaranya seakan nyata. Perlahan tapi pasti, aku menunduk sebentar lalu menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Aku berbalik, sepi.

Sebenarnya masalah ini tidak terlalu rumit jikalau saja tak ada drama perjodohan, wedding aggrement. Kami berdua adalah sahabat karib, yang masing-masing memiliki perasaan yang terpendam. Aku mengenalnya ketika kami berada di satu sekolah yang sama, dan juga di kelas yang sama.

Entahlah, perasaan ini seakan terus tumbuh kemudian berlanjut sampai kami berdua sama-sama diterima di universitas, di tempat yang sama pula. Sekilas, nasib telah mempertemukan kami berdua, mulai dari sekolah dasar hingga universitas. Tak disangka-sangka, salah satu kegemaran kami pun sama yaitu menonton pertandingan sepakbola.

Tak ada yang paling menyenangkan jikalau sudah bersamanya. Namanya adalah Safira, atau Safira Queensha Salsabila Agatha Ulani. Sering aku kebingungan bila memanggil namanya. Terkadang hanya Safira, atau hanya .... Salsabila ..., Ulani ..., Agahtha ... dan terkadang juga Queensha. Tapi, yang paling sering aku sebut adalah Safira. Mendengar hal itu, ia hanya tersenyum seraya perlahan mendekatkan  wajahnya yang putih bersinar itu, hingga dekat sekali, hanya untuk melihat mataku dalam-dalam, sambil berkata :

 "Ok!"

 Aku terkejut, panik dan gemetar luar biasa. Tiba-tiba saja tekanan darah di tubuhku , melonjak drastis. Tanpa sepengetahuanku, ia melakukan suatu gerakan yang hampir saja membuat hatiku copot. Kini, perasaanku langsung melambung tak jelas, jantungku rasa-rasanya mau terbang, melayang penuh arti. Tak berlebihan kukatakan bahwa sekarang aku jatuh cinta, sungguh cinta.

Dengan keakraban itu, maka tak heran, kemana pun kami pergi dan dimana pun kami berada, kami pasti selalu bersama, berdua. Apalagi bila ada pertandingan sepakbola, maka kami berdua adalah supporter yang paling meriah, paling ribut dan paling semarak. Kami mendedikasikan diri sebagai supporter terunik, lain dari pada yang lain. Jikalau ada supporter lain yang masing-masing membela tim kesayangannya, maka kami bukan seperti itu, bukan. Kami  berdua akan sangat senang sekali bila melihat bola masuk ke gawang, tanpa peduli siapa kawan maupun lawan. Kami akan meluapkan segalanya, sambil berpegangan tangan dan meloncat-loncat girang lalu memekik :

"Goooolllllll ..... Golllllll .... Goooolllllll"

 "Goll ... Goolll ... Gooollllll"

Jika kami berada di stadion olahraga misalnya saja Stadion Gelora Bung Karno, maka kami berdua selalu sepakat untuk memesan tiga tiket, empat balon tepuk, dua kacamata hitam dan tempat duduk yang paling dekat dengan lapangan. Ada dua alasan sebenarnya. Pertama, dengan memesan tiga tiket, otomatis tempat duduk kami sangat leluasa untuk bergerak bebas, mengekspresikan semua jati diri kami sebagai supporter yang sebenarnya. Kami bisa berdiri, dengan memakai kacamata hitam penuh gaya, bergoyang kesana kemari sambil memegang bola tepuk untuk menambah kemeriahan yang ada. Kedua, bila berada di dekat lapangan, sudah pasti kami berdua dapat melihat dengan jelas sudut-sudut mana bola yang menjebol gawang. Ini adalah kebahagiaan kami yang tiada tara. Kami berdua, jelas bahagia, sangat bahagia.

Bukan hanya itu saja, salah satu sifat Safira yang sangat aku kagumi adalah sikapnya murah hati dan senyumannya .... alamak, menawan sekali. Ketika aku kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah, tanpa sungkan, ia langsung menyingsikan lengan bajunya, melebarkan bola matanya sambil memasang radar yang lebar lalu berceloteh apa saja, kadang-kadang tak keruan, tapi inilah yang sangat meramaikan hatiku.

"Oh, yang ini ....!!!"

"Yang ini, kan ... ya ...?!"

 "Gampang ini, tinggal was ... wis ... wus ... wes ... selesai, Aman!!!"

 Sifatnya yang berani, percaya diri dan juga ramah pada siapa pun inilah yang sebenarnya telah meluluhkan hatiku. Hatiku jelas berdegup kencang namun dengan harmonisasi irama yang aduhai. Kami sering belajar bersama, berdiskusi bersama, makan bersama dan tak lupa menonton pertandingan sepak bola bersama. Sering kali, ketika kedua bola mata kami bertemu, wajah kami berdua sama-sama memerah. Apakah ini yang namanya cinta? Entahlah, aku tak tahu.

Menjelang masa kuliahku hampir selesai, telah kusiapkan suatu kejutan istimewa untuknya. Aku akan melamarnya, pasti. Tepat menjelang senja, di pelataran gedung kampus yang megah, segera kukatakan padanya, arti diriku yang sebenarnya.
         "Safira ..."
          "Ehm ...hmm ...mm..."
          "Uhuk ... Uhuk ... !!!"
           Ia diam untuk beberapa saat, sambil memperhatikanku dengan ekspresi yang membingungkan. Aku tahu, ia sedang menunggu lanjutan kata-kataku sekarang, dan di detik-detik inilah, yang sangat menegangkan.
           "Safira Queensha Salsabila Agatha Ulani ...!"
           Aku menahan nafas sejenak lalu kembali menyusun kata yang tepat. Berhadapan dengan sahabat dengan rasa kekasih itu ... jelas tak mudah.
             "Yaaa ...!!!"
           Ia terkejut, bahkan sangat terkejut saat kusebut namanya ... dengan lengkap. Ada apa ini? Dalam hatinya, pasti ada tanda tanya besar. Ia tidak menduga sama sekali, aku sudah dalam posisi serius plus siaga satu. Segera kujelaskan maksud dan tujuanku, tanpa basa basi.
            "Maukah engkau menjadi istriku?"
            Ia kaget tak kepalang. Dalam kondisi sulit ini, ia terjajar mundur. Wajahnya memerah, malu lalu tertunduk. Aduh, gawat ini. Aku tak tahu kalau reaksinya sangat terkejut. Segera saja, kuambil tindakan pencegahan.
             "Safira ... Safira ..."
             "Kau baik-baik saja?!"
              "Sudah ... Sudah ... Lupakanlah ini ... Anggap saja aku hanya mengigau!!!"
          Aku panik, tak tahu harus berbuat apa. Tak tega aku membuatnya jadi seperti ini. Lebih baik bila aku mengajaknya menonton bola, atau jalan-jalan sore. Aduh, bahaya ini. Di tengah-tengah kepungan frustasi, kebingungan dan salah tingkah, tiba-tiba saja ia menjawab.
             "Ya ...."
           Mendengar ini, kedua mataku langsung tercekat, melotot tak percaya. Jantungku bendenyut-denyut cepat, wajahku ini, dalam sekejab langsung berbunga-bunga dan hatiku melayang-layang terbang. Oh, bahagia, sungguh aku bahagia. Yang kulihat sekarang, wajahnya semakin memerah dengan senyuman yang indah tiada tara. Ia pun melanjutkan kata-katanya.
           "Tunggu kabar dari orang tuaku, ya ... Kak!"
           "Dua hari lagi ..."
            Langsung kujawab.
            "Tak masalah!!!"
            "Mau dua hari ....  seminggu, dua minggu ataupun satu bulan ... pasti kutunggu!"

Selama dua hari inilah, diriku ini lebih tepatnya dihampiri insomnia, tak bisa tidur. Menunggu dua hari ini rasanya seperti dua tahun. Bukan-bukan, lebih tepatnya dua puluh (20) tahun. Ya, anda tidak salah baca, dua puluh tahun, tidak kurang bisa lebih. Melelahkan. Setiap hari, aku mendongakkan kepala, demi melihat bulan, bintang, awan putih, awan kelabu, awan hitam, langit demi melihat pergantian siang dan malam, dan juga demi sang pujaan hati. 

Semangatku berapi-api. Tak sabar hati ini menghitung hari. Tak puas diri ini menanti hari demi hari. Ingin rasanya kulipat saja hari ini, lalu melompat ke bulan, kemudian sampai di akhir tahun. Begitu seterusnya. Meskipun semuanya hanya anganku saja, tak nyata tapi tetap saja ditunggu kedatangannya. Rasa bosan mulai menyergapku. Namun, aku tak peduli. Aku sudah terlanjur cinta, rindu dan harap yang takkan mampu kubendung. Detik demi detik merayap ke menit, lalu berlanjut menuju jam, hingga tibalah hari yang ditentukan. Dengan perasaan yang berapi-api dan kobaran semangat yang mengebu-gebu, akan kutemui cinta. Nyatanya, aku salah. Seluruh dugaanku meleset, raib, bahkan hangus tak tersisa. Benarkah ini?

"Kak Fah ... mi ..."

Suaranya terbata-bata, terdengar serak dan parau.
"Maafkan aku ..."
"Maafkan kedua orang tuaku ..."
"Kita takkan bisa bersatu!!!"

Aku terkejut mendengar penjelasan panjang lebar darinya. Yang kulihat sekarang, air matanya sudah mengalir deras, wajahnya pucat dan hatinya sangat terpukul dengan keadaan ini. Begitu pula dengan diriku, tiba-tiba saja semangatku padam, kepercayaan diriku porak poranda dan hatiku jelas hancur, sehancur-hancurnya. Dia, Safira Queensha Salsabila Agatha Ulani, telah dijodohkan. Fakta ini terlalu sulit untuk kami berdua. Terlalu berat kami menerimanya. Aku mengusap air mataku. Dalam keadaan ini, baik aku dan dia harus tegar dan ikhlas. Walaupun pahit, kucoba untuk menenangkannya.
          "Turutilah orang tuamu ..."
          "Ini adalah pilihan yang terbaik untuk kita berdua!!!"

Tangisnya pecah. Air matanya mengalir deras. Ia sesenggukan. Aku pun tak kuasa menahan pedih dan perih ini. Tak terasa, air mataku jatuh, bercucuran. Kali ini, hatiku benar-benar ambruk, dan cintaku langsung tamat. Terdengar olehku, sayup-sayup suaranya, lirih dan terbata-bata.
            "Kak Fah ... mi ..."
            "Bolehkah aku meminta satu permintaan?"
           Aku diam, tak menjawab.
           "Bolehkah aku mencium tanganmu?"

Aku hanya mengangguk, berat sekali untuk berkata-kata. Lisanku telah beku oleh kenyataan, dan mulutku menjadi kaku oleh keadaan. Rupanya takdir telah mempertemukan kami berdua, akan tetapi bukan untuk menyatukan. Senja yang temaram menjadi saksi diantara kami, karena cinta tidak harus saling memiliki. Langit dan awan pun, kini berawan.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun