Mohon tunggu...
Muhammad Irsyad
Muhammad Irsyad Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Penikmat literasi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Safira dan Senja

25 September 2024   16:13 Diperbarui: 25 September 2024   16:17 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Sifatnya yang berani, percaya diri dan juga ramah pada siapa pun inilah yang sebenarnya telah meluluhkan hatiku. Hatiku jelas berdegup kencang namun dengan harmonisasi irama yang aduhai. Kami sering belajar bersama, berdiskusi bersama, makan bersama dan tak lupa menonton pertandingan sepak bola bersama. Sering kali, ketika kedua bola mata kami bertemu, wajah kami berdua sama-sama memerah. Apakah ini yang namanya cinta? Entahlah, aku tak tahu.

Menjelang masa kuliahku hampir selesai, telah kusiapkan suatu kejutan istimewa untuknya. Aku akan melamarnya, pasti. Tepat menjelang senja, di pelataran gedung kampus yang megah, segera kukatakan padanya, arti diriku yang sebenarnya.
         "Safira ..."
          "Ehm ...hmm ...mm..."
          "Uhuk ... Uhuk ... !!!"
           Ia diam untuk beberapa saat, sambil memperhatikanku dengan ekspresi yang membingungkan. Aku tahu, ia sedang menunggu lanjutan kata-kataku sekarang, dan di detik-detik inilah, yang sangat menegangkan.
           "Safira Queensha Salsabila Agatha Ulani ...!"
           Aku menahan nafas sejenak lalu kembali menyusun kata yang tepat. Berhadapan dengan sahabat dengan rasa kekasih itu ... jelas tak mudah.
             "Yaaa ...!!!"
           Ia terkejut, bahkan sangat terkejut saat kusebut namanya ... dengan lengkap. Ada apa ini? Dalam hatinya, pasti ada tanda tanya besar. Ia tidak menduga sama sekali, aku sudah dalam posisi serius plus siaga satu. Segera kujelaskan maksud dan tujuanku, tanpa basa basi.
            "Maukah engkau menjadi istriku?"
            Ia kaget tak kepalang. Dalam kondisi sulit ini, ia terjajar mundur. Wajahnya memerah, malu lalu tertunduk. Aduh, gawat ini. Aku tak tahu kalau reaksinya sangat terkejut. Segera saja, kuambil tindakan pencegahan.
             "Safira ... Safira ..."
             "Kau baik-baik saja?!"
              "Sudah ... Sudah ... Lupakanlah ini ... Anggap saja aku hanya mengigau!!!"
          Aku panik, tak tahu harus berbuat apa. Tak tega aku membuatnya jadi seperti ini. Lebih baik bila aku mengajaknya menonton bola, atau jalan-jalan sore. Aduh, bahaya ini. Di tengah-tengah kepungan frustasi, kebingungan dan salah tingkah, tiba-tiba saja ia menjawab.
             "Ya ...."
           Mendengar ini, kedua mataku langsung tercekat, melotot tak percaya. Jantungku bendenyut-denyut cepat, wajahku ini, dalam sekejab langsung berbunga-bunga dan hatiku melayang-layang terbang. Oh, bahagia, sungguh aku bahagia. Yang kulihat sekarang, wajahnya semakin memerah dengan senyuman yang indah tiada tara. Ia pun melanjutkan kata-katanya.
           "Tunggu kabar dari orang tuaku, ya ... Kak!"
           "Dua hari lagi ..."
            Langsung kujawab.
            "Tak masalah!!!"
            "Mau dua hari ....  seminggu, dua minggu ataupun satu bulan ... pasti kutunggu!"

Selama dua hari inilah, diriku ini lebih tepatnya dihampiri insomnia, tak bisa tidur. Menunggu dua hari ini rasanya seperti dua tahun. Bukan-bukan, lebih tepatnya dua puluh (20) tahun. Ya, anda tidak salah baca, dua puluh tahun, tidak kurang bisa lebih. Melelahkan. Setiap hari, aku mendongakkan kepala, demi melihat bulan, bintang, awan putih, awan kelabu, awan hitam, langit demi melihat pergantian siang dan malam, dan juga demi sang pujaan hati. 

Semangatku berapi-api. Tak sabar hati ini menghitung hari. Tak puas diri ini menanti hari demi hari. Ingin rasanya kulipat saja hari ini, lalu melompat ke bulan, kemudian sampai di akhir tahun. Begitu seterusnya. Meskipun semuanya hanya anganku saja, tak nyata tapi tetap saja ditunggu kedatangannya. Rasa bosan mulai menyergapku. Namun, aku tak peduli. Aku sudah terlanjur cinta, rindu dan harap yang takkan mampu kubendung. Detik demi detik merayap ke menit, lalu berlanjut menuju jam, hingga tibalah hari yang ditentukan. Dengan perasaan yang berapi-api dan kobaran semangat yang mengebu-gebu, akan kutemui cinta. Nyatanya, aku salah. Seluruh dugaanku meleset, raib, bahkan hangus tak tersisa. Benarkah ini?

"Kak Fah ... mi ..."

Suaranya terbata-bata, terdengar serak dan parau.
"Maafkan aku ..."
"Maafkan kedua orang tuaku ..."
"Kita takkan bisa bersatu!!!"

Aku terkejut mendengar penjelasan panjang lebar darinya. Yang kulihat sekarang, air matanya sudah mengalir deras, wajahnya pucat dan hatinya sangat terpukul dengan keadaan ini. Begitu pula dengan diriku, tiba-tiba saja semangatku padam, kepercayaan diriku porak poranda dan hatiku jelas hancur, sehancur-hancurnya. Dia, Safira Queensha Salsabila Agatha Ulani, telah dijodohkan. Fakta ini terlalu sulit untuk kami berdua. Terlalu berat kami menerimanya. Aku mengusap air mataku. Dalam keadaan ini, baik aku dan dia harus tegar dan ikhlas. Walaupun pahit, kucoba untuk menenangkannya.
          "Turutilah orang tuamu ..."
          "Ini adalah pilihan yang terbaik untuk kita berdua!!!"

Tangisnya pecah. Air matanya mengalir deras. Ia sesenggukan. Aku pun tak kuasa menahan pedih dan perih ini. Tak terasa, air mataku jatuh, bercucuran. Kali ini, hatiku benar-benar ambruk, dan cintaku langsung tamat. Terdengar olehku, sayup-sayup suaranya, lirih dan terbata-bata.
            "Kak Fah ... mi ..."
            "Bolehkah aku meminta satu permintaan?"
           Aku diam, tak menjawab.
           "Bolehkah aku mencium tanganmu?"

Aku hanya mengangguk, berat sekali untuk berkata-kata. Lisanku telah beku oleh kenyataan, dan mulutku menjadi kaku oleh keadaan. Rupanya takdir telah mempertemukan kami berdua, akan tetapi bukan untuk menyatukan. Senja yang temaram menjadi saksi diantara kami, karena cinta tidak harus saling memiliki. Langit dan awan pun, kini berawan.
 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun