Â
     Aku tahu, sejak hari pertama kali kita bertemu, terpancar jelas aura keceriaan di wajahmu, yang tak pernah sekalipun engkau tutupi. Sikapmu, perangaimu bahkan hatimu seakan bercahaya terang, laksana sinar rembulan di pertengahan malam. Senyumanmu bagaikan tawa matahari yang mampu menyinari dunia dengan segala keindahannya. Namun, suaramu berubah berat, penuh tekanan di saat harus mengucapkan kata-kata ini.
"Kak .... Fah ... m ... ii ..."
Aku terdiam. Sungguh, keadaan ini sangat sulit bagi diriku dan juga bagi dirimu. Suaranya terdengar serak, parau dan begitu bergetar. Sampai kapan pun, sepertinya kami berdua, suka tidak suka, mau tidak mau, takkan pernah bisa bersatu. Kini, tampak olehku, kedua bola matanya sudah berkaca-kaca, menahan pedih yang teramat perih.
 Kak ... tolonglah hadir ... di hari pernikahanku!!!"
 "Setidaknya, ini ... adalah permintaanku, padamu!"
 Aku mematung, diam seribu bahasa. Mulutku kelu, berat, seakan penuh sesak. Tak sanggup lagi, takkan bisa aku memberikan jawaban yang pada akhirnya pasti membuat kami berdua sama-sama terluka. Wajahku pucat menahan getir. Kali ini, suaranya terdengar lirih, penuh sesal. Hatinya suram, pedih seakan-akan teriris menahan perih. Kedua tangannya menggenggam erat, menaruh harap pada tatapan mataku yang kosong. Dengan linangan air mata dan wajah yang pilu, tiba-tiba saja, ia berteriak, memecah keheningan.
 "KAAKKKK   FAAHHHMMMMIIIIIIIIIIII ................"
Aku terkejut, bangun ... lalu membuka mataku lebar-lebar, tak menyangka perkara ini begitu pelik, sampai-sampai terbawa mimpi. Pekik suaranya seakan nyata. Perlahan tapi pasti, aku menunduk sebentar lalu menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Aku berbalik, sepi.
Sebenarnya masalah ini tidak terlalu rumit jikalau saja tak ada drama perjodohan, wedding aggrement. Kami berdua adalah sahabat karib, yang masing-masing memiliki perasaan yang terpendam. Aku mengenalnya ketika kami berada di satu sekolah yang sama, dan juga di kelas yang sama.
Entahlah, perasaan ini seakan terus tumbuh kemudian berlanjut sampai kami berdua sama-sama diterima di universitas, di tempat yang sama pula. Sekilas, nasib telah mempertemukan kami berdua, mulai dari sekolah dasar hingga universitas. Tak disangka-sangka, salah satu kegemaran kami pun sama yaitu menonton pertandingan sepakbola.