Mohon tunggu...
Muh Irhas
Muh Irhas Mohon Tunggu... lainnya -

Tuhan, Keluarga, dan Secangkir Kopi!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Transformasi Pengajaran Tidak Merata; Pemicu Komparatisasi Antar Sekolah

2 Januari 2013   16:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:36 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Perkembangan dari mutu pendidikan di lihat dari metode pengajaran di kelas. Dan memang itu benar. dulu, suasana ruang kelas sangatlah penat, akan lebih baik jika pintu dan jendela di buka sehingga angin bisa masuk , belum lagi papan tulis berwarna hitam di lukis dengan kapur yang bukan main sangat tidak menyehatkan sekali debunya. Bandingkan dengan sekarang. Di saat ruang kelas tertutup rapat, dinyalakanlah AC agar memberikan kesejukan di dalam kelas. Selain itu, papan tulis berwarna putih di lumuri dengan tinta berwarna hitam dan tidak berdedu, serta projector pun ikut berperan penting dalam proses pengajaran. Sehingga suasana kelas menjadi kondusif. Seperti inilah mungkin ciri-ciri dari adanya Transformasi Pengajaran di ruang kelas.

Namun hal di atas kebanyakan hanya di khususkan kepada para pelajar yang ada di perkotaan saja. Meskipun sudah ada sebagian di pedesaan yang sudah menggunakan alat canggih dalam proses pengajaran di kelas, namun pemerataannya masih berada pada tingkat bawah. Inilah  mengapa sempat ada terlintas pembahasan masalah penghapusan UN. Karena suplay pembelajaran dan fasilitas antar daerah masing-masing berbeda. Misalnya saja, antara suplay pembelajaran maupun fasilitas di kota-kota besar dengan di pedesaan sangat berbeda jauh, khususnya provinsi yang ada di pulau jawa serta perbandingannya dengan provinsi di kawasan timur Indonesia.

Sebenarnya, kurikulum 2013 yang sedang hangat di wacanakan itu hanya sekian persen dari proses pembelajaran di kelas. Justru perubahan kurukulum KTSP ke kurikulum 2013 menambah permasalahan kembali di lingkup pendidikan. Seperti pengurangan jumlah mata pelajaran, ujian nasional didi laksanankan ketika kelas 2 SMA, dll. Yang pastinya menimbulkan banyak konroversi di kalangan masyarakat.

Mestinya, kita harus mewacanakan hal-hal yang dianggap important dalam proses pembelajaran di sekolah kedepannya. Apa gunanya ada kurikulum jika tidak bisa di kondisikan di dalam kelas? Apa fungsinya kelas jika tidak memiliki fasilitas yang bisa mengkondusifkan proses pembelajaran? Dan bagaimana jadinya jika SDM (terutama tenaga pengajar) tidak bisa menguasai ruang kelas / mengkondisikan kelas?

Diskriminasi Pendidikan

Di tambah lagi dengan di adakannya dua system yakni akreditasi dan Rintisan sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Dengan adanya system akreditasi, bisa dikatakan bergunalah karena adanya kompetensi antar sekolah untuk menjadikan statusnya terakreditasi “A”. dalam artian, tiap-tiap sekolah berdaya saing unggul dalam kompetensi pendidikan. Di sisi lain, akan  menimbulkan kecemburuan public di bidang pendidikan. Seperti yang akan di lakukan pemerintah di awal tahun ajaran baru 2013/2014, hanya sekolah yang berstatus “A” yang boleh mengikuti SPMB di PTN melalui jalur undangan. Mau tidak mau, sekolah yang bukan status “A” akan merasa terasingkan dengan hal ini.

namun akankah berguna jika system RSBI di Indonesia berjalan?. Lihat saja sekarang. beberapa sekolah dengan status RSBI sangat membanggakan sekolahnya sehingga sekolah yang bukan RSBI terasa di asingkan. Hal ini tidaklah sangat jauh sekali dari nama “Diskriminasi Pendidikan” di Indonesia. RSBI hanya mengunggulkan nilai rasa, tanpa memperdulikan nilai rasio. Terbukti, nilai tertinggi UN SMA/sederajat di Indonesia tahun 2012, bukan berasal dari sekolah dengan status RSBI.  Jangankan RSBI, sekolah unggulan saja, sudah terjadi pendiskriminasian di lingkup pendidikan. Jadi, siswa sekolah non-Unggulan merasa sangat minder menyebutkan nama sekolahnya jika di Tanya “dimana kamu sekolah?”. Bahkan menyebutkan salah satu sekolah unggulan yang terkenal. Meskipun tidak semua siswa non-Unggulan seperti itu, tapi ada.

Tapi bukan berarti nilai-nilai yang tertulis di atas adalah provokasi di bidang pendidikan. Akan tetapi, hal di atas bisa kita jadikan sebagai pertimbangan atau ikhtisar, akankah dengan mutu pendidikan yang ada di Indonesia bisa maju dengan ketidakpemerataan suplay pendidikannya?

Tenaga pengajar di Indonesia sangatlah banyak. Namun jika mereka di suruh memilih mau mengajar dimana, kemungkinan lebih dari separuhnya ingin mengajar di sekolah dengan fasilitas yang lengkap, gaji tinggi, kemasyhuran namanya, dan tentunya lokasi. Ya iyalah, siapa yang tidak mau dengan komposisi-komposisi tersebut. Maka di sinilah tugas dari seorang pemimpin untuk memeratakan pendidikan di Indonesia. Misalnya pengadaan inventaris sekolah, penyesuaian kurikulum antar sekolah, Agar supaya tenaga pengajar Indonesia tidak memilah-milih dimana mereka harus mengajar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun