Perilaku "cabut" atau bolos sekolah telah menjadi masalah serius yang sering ditemui di lingkungan pendidikan. Siswa laki-laki lebih sering terlibat dalam fenomena ini dibandingkan siswa perempuan. Mereka biasanya meninggalkan kelas tanpa seizin guru ataupun orang tua.
Salah satu alasan mengapa siswa "cabut" adalah untuk mencari identitas diri. Di usia remaja, siswa sering berusaha menunjukkan keberanian untuk mendapatkan pengakuan dari teman-teman sebaya mereka. Hal ini memotivasi mereka untuk mencoba hal-hal baru, termasuk bolos sekolah.
Lingkungan pertemanan juga memiliki pengaruh besar terhadap kebiasaan "cabut". Jika seorang siswa berada di kelompok teman yang sering bolos, tekanan untuk mengikuti perilaku tersebut sangat tinggi. Siswa merasa perlu menyesuaikan diri agar diterima dalam kelompok tersebut.
Tekanan akademik yang berat menjadi faktor lainnya. Banyak siswa merasa kesulitan menghadapi beban tugas dan materi pelajaran yang sulit. Sebagai pelarian, mereka memilih untuk tidak hadir di kelas dan mencari kegiatan lain di luar sekolah.
Kurangnya minat terhadap mata pelajaran tertentu turut memengaruhi kebiasaan ini. Ketika siswa merasa bosan dengan materi yang diajarkan, mereka lebih mudah tergoda untuk meninggalkan kelas. Hal ini menciptakan celah untuk perilaku bolos.
Pengaruh teknologi juga tidak bisa diabaikan. Media sosial dan game online menjadi daya tarik besar bagi siswa. Mereka sering memilih untuk menghabiskan waktu bermain game atau berselancar di internet daripada mengikuti pelajaran di sekolah.
Fenomena "cabut" ini memiliki dampak yang signifikan terhadap pembentukan karakter siswa. Ketidakhadiran di kelas menunjukkan kurangnya kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Ini juga menurunkan rasa tanggung jawab terhadap tugas-tugas akademik.
Dalam jangka panjang, kebiasaan "cabut" dapat membentuk pola pikir yang negatif. Siswa mungkin menjadi kurang menghargai pentingnya pendidikan, yang akhirnya berpengaruh pada motivasi mereka untuk belajar dan berkembang.
Selain itu, siswa yang sering bolos berisiko kehilangan rasa percaya diri. Mereka sering merasa tertinggal dari teman-teman mereka yang lebih rajin, yang kemudian memengaruhi perkembangan kepribadian mereka secara keseluruhan.
Hubungan siswa dengan guru juga dapat terganggu akibat kebiasaan "cabut". Guru mungkin merasa upaya mereka dalam mengajar tidak dihargai. Hal ini dapat menciptakan jarak emosional yang memengaruhi suasana belajar-mengajar di kelas.
Bahkan, siswa yang sering bolos lebih rentan terlibat dalam aktivitas negatif di luar sekolah. Mereka mungkin terjebak dalam pergaulan yang kurang baik, yang pada akhirnya merugikan mereka secara pribadi dan sosial.