Polarisasi dan intoleransi menjadi momok yang kerap menghantui kehidupan bermasyarakat di era modern. Kedua istilah ini merujuk pada kondisi masyarakat yang terbagi menjadi kelompok-kelompok yang saling berseberangan dan tidak toleran terhadap perbedaan. Polarisasi dapat terjadi berdasarkan ideologi politik, agama, suku, ras, dan lain sebagainya.
Intoleransi, yang merupakan akibat dari polarisasi, ditandai dengan sikap tidak menghargai dan menerima perbedaan. Manifestasi intoleransi dapat berupa ujaran kebencian, diskriminasi, hingga aksi kekerasan. Munculnya kelompok-kelompok ekstremis yang anti terhadap kelompok lain juga merupakan contoh nyata dari intoleransi.
Berdasarkan data survei terbaru dari Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2023, menunjukkan bahwa tingkat intoleransi di Indonesia masih tergolong tinggi. Sekitar 60% responden menyatakan bahwa mereka tidak nyaman tinggal bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Selain itu, terdapat 55% responden yang setuju dengan pelarangan pendirian tempat ibadah agama minoritas di lingkungan mereka.
Lantas, apa yang menjadi akar permasalahan dari polarisasi dan intoleransi? Faktor penyebabnya bisa beragam, salah satunya adalah mudahnya terpapar informasi dan berita bohong (hoax) melalui media sosial. Filterisasi informasi yang minim membuat masyarakat rentan termakan isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan) yang sengaja disebarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Selain itu, kurangnya ruang untuk dialog dan diskusi antar kelompok turut memperparah polarisasi. Masyarakat cenderung terjebak dalam "echo chamber", yaitu lingkungan informasi yang hanya menyuarakan pandangan yang mereka setujui. Akibatnya, mereka enggan membuka diri untuk memahami perspektif pihak lain.
Dampak dari polarisasi dan intoleransi tentu sangat merugikan. Â Masyarakat yang terpecah belah rentan mengalami konflik sosial. Kemajuan bangsa pun bisa terhambat karena energi yang seharusnya digunakan untuk membangun bersama justru terbuang untuk perselisihan.
Menyadari bahaya tersebut, menangkal polarisasi dan intoleransi menjadi keniscayaan. Peran pemerintah, masyarakat, dan individu sama-sama dibutuhkan. Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan yang mendorong terbangunnya ruang dialog dan toleransi. Masyarakat sipil dapat berperan aktif dalam melawan penyebaran berita bohong dan ujaran kebencian.
Di tingkat individu, penting untuk membekali diri dengan kemampuan berpikir kritis dan literasi digital. Jangan mudah terpancing emosi dan ikut menyebarkan informasi yang belum terverifikasi kebenarannya.
Hal mendasar lainnya yang perlu ditanamkan adalah pentingnya pendidikan dan dialog. Pendidikan yang inklusif dan menghargai perbedaan akan melahirkan generasi muda yang toleran. Dialog antar kelompok akan membuka ruang untuk saling memahami dan menerima perbedaan.
Membangun masyarakat yang harmonis dan toleran bukanlah hal yang mudah. Namun, dengan kerja keras dan komitmen bersama, kita dapat mewujudkan cita-cita tersebut. Â Lihatlah komunitas-komunitas yang sudah berhasil membangun toleransi dan kerukunan di tengah perbedaan. Â Kisah mereka dapat menjadi inspirasi dan bukti bahwa persatuan dan kesatuan adalah kunci menghadapi berbagai tantangan.