Mohon tunggu...
Muhammad Ilyas
Muhammad Ilyas Mohon Tunggu... lainnya -

blogger

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Karya Tulis dan Maknanya bagi Guru

4 Desember 2012   14:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:12 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1354631553866757485

Seakan seluruh isi kepala penuh dengan ide dan gagasan untuk kemudian dituangkan kedalam tulisan , hati begitu menggebu, tapi sesaat kemudian setelah menulis satu alinea, ide tersebut kemudian kabur, bias, lenyap terbentur kedinding-dinding ide itu sendiri.

Begitu susahnya merampungkan  satu tulisan, bahkan menulis dari kegiatan sehari-hari dalam kegiatan pengajaran dikelaspun seakan seperti sama beratnya dengan mencari ide untuk membangun pesawat. Menulis Penelitian Tindakan Kelas (PTK)  sejatinya hanyalah rekaman kegiatan pembelajaran dikelas kemudian di evalusi dan direfleksi kedalam beberapa siklus untuk menemukan pengalaman pembelajaran yang efektif , tetapi begitu beratnya hal ini bisa dilakukan. Tidak salah akhirnya pangkat golongan guru parkir dijenjang golongan tertentu, karena persyaratan karya tulis ilmiah sulit dipenuhi, padahal menulis adalah turunan dari rasionalitas guru dalam menyikapi faktual pembelajaran dikelas, yang kemudian menjadi bahan rujukan dan evaluasi  dalam menemukan metode pengajaran yang tepat untuk anak didiknya sehingga kreatifitas pembelajaran dikelas makin terbentuk.

[caption id="attachment_219673" align="alignright" width="271" caption="karya tulis guru"][/caption]

Rupanya kesulitan menulis ini tidak hanya ditemui oleh kaum guru (dengan PTKnya), bagi kalangan akademis (mahasiswa) juga mengalami hal yang sama, baik ditingkat sarjana strata 1, pasca sarjana dan doktoral sekalipun. Bahkan pemerintah melalui Kemendikbud (Surat edaran No 152/E/T/2012 tentang publikasi karya ilmiah) mensyaratkan penulisan jurnal ilmiah sebagai syarat kelulusan untuk para sarjana, strata 1 sampai strata III pada skala publikasi nasional sampai tingkat internasioanl, kebijakan didasari rendahnya tingkat partisipasi Indonesia dalam tingkat publikasi jurnal karya ilmiah di dunia, yang juga tidak sebanding dengan besarnya potensi banyaknya mahasiswa dan dosen.

Dibanding dengan negara tetangga kita Malaysia saja Indonesia masih berada dibawah, Malaysia dengan 55.211 dokument berbanding dengan Indonesia yang hanya pada angka 13.047 dokumen, alhasil kita hanya berada satu tingkat diatas Kenya. India menembus angka 533.006 dokumen, yang menjadikan India menduduki rangking 10 di Dunia (sumber:http://scimagojr.com/countryrank.php)

Angka lulusan  diploma, sarjana, master dan doktor pada tahun 2009/2010 saja di Indonesia sebanyak 655.012 lulusan, jika kita ambil 2% saja mampu untuk menerbitkan karya ilmiah setidaknya didapat  13.104 karya ilmiah/tahun, jumlah yang sangat luar biasa dan niscaya karya tulis  akan berpengaruh  dan mampu merubah posisi rangking mutu pendidikan kita di tingkat dunia.

Bagaimana khususnya  guru Indonesia?. Dari berbagai jenjang pendidikan Indonesia setidaknya memiliki 2,7 juta orang guru, inilah potensi penulis-penulis khususnya di bidang pengalaman belajar-mengajar. Dari jumlah guru 2,7 juta ini dengan persentase 5% saja yang mampu berkarya, pastilah hasil karya tulis pengalaman belajar-mengajar  ini akan mampu merubah iklim pendidikan di Indonesia. Dengan karya tulis ini semua guru akan dapat membaca pengalaman pengajar masing-masing, semua guru akan saling berbagi pengetahuan pengajaran, yang semua bermuara pada peningkatan mutu pendidikan. Alangkah majunya pendidikan Indonesia jika ini terjadi, tetapi data di lapangan bertolak belakang dengan harapan.

Membiasakan menulis  adalah  seperti membangun ‘Budaya’, dan budaya menulis adalah juga produk  dari budaya membaca,  seperti ucapan penyair Taufik Ismail  bahwa rabun membaca lumpuh menulis. Dan keadaan ini berlaku di Indonesia, data minat membaca yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2006, menunjukkan bahwa masyarakat lebih banyak tertarik dan memilih untuk menonton TV (85,9%) dan atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%). Data ini cukup memberi bukti rendahnya minat baca di Indonesia.

Budaya membaca haruslah dibangun sedini mungkin, orang tua dan guru merupakan orang-orang yang mampu menumbuhkan minat baca anak. Orang tua dengan perhatiannya dan guru dengan pengajaran yang kreatif dan mengkondisikan anak didik untuk selalu tahu bahwa membaca adalah sumber informasi pengetahuan bagi dirinya.

Untuk menjadi guru yang kreatif haruslah guru yang berpengalaman, guru yang mampu belajar dari pengalaman sebelumnya, guru yang mampu mengevaluasi cara mengajarnya, mampu memperbaikinya dan menemukan model pembelajaran yang tepat untuk anak didiknya. Semua ini mustahil dapat dilakukan tanpa ada rekaman pengajaran tertulis.

Menulis dan mencatat setiap langkah pengalaman dalam pengajaran adalah juga bukti bahwa guru sadar diri untuk meningkatkan mutu pengajarannya. Selama ini guru hanya merekam kemajuan siswa dalam belajar, melupakan dirinya yang harusnya juga menjadi seorang ‘pelajar’ untuk dapat meningkatkan mutu sebagai ‘pengajar’. Rekaman kemajuan pengajar kita adalah catatan pengalaman pengajar sebagai acuan evaluasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun