Mohon tunggu...
Muhammad Ihwan
Muhammad Ihwan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Muhammad Ihwan, Menamatkan S-1 pada Jurusan Tanah Fakultas Pertanian Unibraw, dan program Magister Sains pada Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) di ITB-Bandung. Semasa kuliah aktif diberbagai organisasi kepemudaan dan profesi, baik skala regional maupun nasional. Tertarik pada bacaan riset-sains, motivasi, filsafat, dan pengembangan kepribadian. Tahun 2005-sekarang mengabdikan diri sebagai peneliti pada salah satu BUMN di Gresik Jawa Timur.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kongres HMI Ke-27: Tentang HMI yang Semakin Tidak Adaptif

5 Maret 2012   08:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:29 1396
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagi aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) mingguini adalah minggu-minggu menuju kongres HMI ke-27 yang akan dihelat di Depok-Jawa Barat pada 5-10 November 2010 nanti. "Keberartian" momentum kongres, karena pada saat itu sejatinya akan melahirkan kesadaran kolektif tentang semakin perlunya lembaga yang akan menghimpun idealitas mahasiswa untuk berjuang bersama mengisi kemerdekaan. Penulis sudah menulis sebelumnya, independency makes opportunities, opportunities makes hope, hope makes life and future. Namun bagi Penulis, dont take our freedom for granted. Independensi bukanlah keniscayaan, ia harus kita rawat terus menerus. Kita harus menanyakan minimal setahun sekali sampai dimana perjalan organisasi kita dan apa yang telah kita berikan untuk HMI.

Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh (Qs. Ash-Shaff: 4)

Kini, di usianya yang ke-63 (1947-2010) yang nampak di permukaan dan sangat menonjol justru pragmatisme, menurunnya kadar intelektual kader, komitmen kerakyatan yang hanya slogan, sampai goyangnya independensi di level grass root. Oleh karenanya tidak heran jika muncul pertanyaan reflektif, ada apa dengan para aktivis HMI?. Masihkah mereka merawat idealitas yang selama ini dibangun dengan balutan independensi yang kokoh? Masihkah firman Tuhan dalam QS. ash-shaff ayat 4 tersebut menjadi fighting spirit bagi HMI generasi kini?. Dinamika suksesi kepengurusan dalam segenap ranah di HMI baik itu Komisariat, Korkom, Cabang, Badko, sampai PB HMI tentunya harus menjadi ajang untuk saling berupaya menjadikan wadah tersebut berkualitas. Apapun hasilnya manakala telah melewati mekanisme organisasi yang benar dan konstitusional dengan mengedepankan prinsip-prinsip kejujuran maka wajib didukung oleh segenap kader-kader yang ada. Akan tetapi kenyataannya, seusai ”pertarungan” tersebut kerap muncul tidak adanya sikap saling rangkul sehingga antara pihak pemenang dengan kalah sering tidak bersikap dewasa. Masing-masing telah menegaskan dengan sebutan ”gerbong-gerbong”. Selain itu, dalam praktek penentuan personalia tidak dapat dimungkiri telah terjadi praktik yang tidak sehat seperti main potong kader yang berkualitas atas pertimbangan politik yang jelas salah kaprah. Tentunya hal ini harus dihilangkan, jangan lagi ada seseorang menduduki posisi (jabatan) hanya karena pertimbangan politis dukung-mendukung tanpa mempertimbangkan kapasitas dan kapabilitas seseorang duduk dalam struktur HMI ersebut. Bukankah suatu kewajiban bagi HMI untuk mendahulukan prinsip the right man on the right place untuk membangun HMI lebih baik. Pola semacam ini disinyalir ada dalam tubuh PB HMI. Apalagi saat seperti Kongres sinyalemen adanya money politic kian kentara begitu pun pada Musda dan Konfercab ada pula yang menjalan praktik ini. Sungguh ironis!. Buat apa berstatus Pengurus Komisariat, Pengurus Korkom, Pengurus Cabang, Pengurus Badko dan Pengurus Besar tapi tidak dapat memberikan kemajuan bagi HMI. PERSOALAN INDEPENDENSI YANG TAK KUNJUNG USAI Jika kita lihat catatan sejarah, gagasan-gagasan monumental HMI kerap kali melampaui pikiran zaman yang sedang bergulir, ide-ide HMI selalu futuristik dan memberikan pilihan alternatif solusi. Karena pola pikir yang konstruktif inilah sehingga kerap kali HMI dan kader-kadernya mengambil tempat yang strategis dalam kelompok-kelompok pembaharuan. Namun sayangnya prototipe HMI yang bagus ini tergerus ke dasar parit pragmatisme oleh sekelompok orang atau individu yang menganut paham "transaksional" (baca : jual beli-red.) dalam memuluskan pertarungan politiknya. Apalagi pola ini diterapkan pada organisasi yang kulturnya tidak bisa membenarkan hal tersebut. Istilah Transaksional ini mengarah pada Fenomena jalan instan menuju kursi ketua Umum PB HMI dengan menggunakan kekuatan kapital, pola ini memang bergulir seiring dengan berkembangnya budaya pragmatis dan instant thingking. Bagi beberapa kalangan atau kader HMI yang tidak terlalu menganggap penting sebuah proses dan kapasitas, memang cenderung memilih jalan pintas mencapai puncak kepemimpinan HMI dengan mengandalkan dukungan uang. Kelompok seperti ini dalam membangun jaringan dapat ditebak sejak awal jaringan yang dibangun adalah jaringan yang membuka akses pada pemegang kapital dan pemangku kepentingan politik. Mereka juga tidak begitu menonjol dalam berbagai hal, akan tetapi memiliki akses ke komunitas pragmatis. HMI dan infrastrukturnya bagi mereka dapat digadaikan dengan janji dan komitmen yang sudah bisa ketebak akan mencederai independensi HMI. Kalau mengacu pada istilah "there’s no free lunch ", maka dukungan logistik yang bagitu royal dikeluarkan oleh para founding dan spekulan politik kepada " Para kandidat ketua Umum PB HMI juga pasti dibarengi dengan imbalan komitmen politik yang tentu sulit diterima akal sehat organisasi. Karena sudah pasti HMI akan digadaikan. Selain itu, tidak jarang potensi HMI dimobilisasi untuk memuluskan kepentingan senior-seniornya. "Persenyawaan" ini biasanya sengaja dipertahankan, karena pada gilirannya juga akan berpengaruh terhadap masa depan aktivis, terutama aktivis senior (fresh graduate pasca struktur HMI). Tidak jarang aktivis senior HMI menekan juniornya untuk mengikuti syahwat politiknya, dengan melakukan penekanan segala cara dari mulai iming-iming S2, jabatan di jenjang selanjutnya, iming-iming jadi dosen, sampai ke iming-iming yang sifatnya materialistik. Bagi penulis, ini “haram” hukumnya di HMI, biarkanlah junior-junior di HMI menjalani prosesnya, menuntaskan medan tempurnya. Bagaimanapun, proses-proses demikian akan menghantarkan sang junior ke tingkat kedewasaan tertentu. Biarkan mereka dewasa dengan pilihan-pilhannya. Jangan karena merasa tidak moncer pada periode kepengurusannya lalu berusaha merebut periode emas juniornya di HMI, serta mengintervensi keputusan organisasi yang tulus sebagaimana di ikhtiarkan juniornya. Senior yang seperti ini adalah senior yang merampas masa tumbuh-kembang adik-adiknya. Layak untuk diikutkan Maperca atau basic training kembali. MENURUNNYA REPRODUKSI INTELEKTUAL Penulis ingin melakukan hipotesis bahwa fenomena menurunnya gairah perjuangan dimulai dari semakin berkurangnya reproduksi intelektual. Indikasi yang paling mudah dibaca atas hipotesis ini adalah lambatnya kemunculan tokoh pasca almarhum cak Nur. Lihat saja, nyaris tidak ada dinamika pemikiran (terutama keislaman) yang menonjol yang bisa dijadikan bahan kajian pasca - limited group-nya cak Nur, Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Dawam Rahardjo, dan kawan-kawan seangkatannya. Dari fenomena tersebut nampak ada stagnasi kader. Bahkan dalam beberapa hal banyak di antara aktivis terjangkit sindrom “kilauan sejarah”, karena terlalu silau dan terlena oleh gemerlapnya sejarah HMI tanpa sedikitpun membuat karya. Mereka lebih sibuk berebut jabatan struktural karena merasa mendapat garansi masa depan cerah bila telah melewati jabatan Ketua Umum atau jabatan lain, apalagi sampai ke tingkat PB HMI. Tidak sedikit di antara mereka yang drop out (DO) hanya karena sibuk mengejar "karier" di HMI. Mereka lupa, garansi masa depan ada pada potensi dirinya, bukan pada para alumni HMI. Kalaupun jabatan di HMI berpengaruh, tapi sungguh signifikansinya tidak sebesar harapannya. Senyampang dari itu, penulis ingin mengingatkan kembali bahwa fungsi perkaderan HMI adalah pertama, menyadari bahwa proses menuju kesempurnaan hidup bagi setiap manusia adalah melalui proses yang cukup panjang, bahkan dilalui selama hidupnya. Kedua, Bagi HMI, seluruh aktivitas termasuk mekanisme organisasi dan individu anggota selama berada di HMI adalah proses kaderisasi. Ketiga, Setiap proses di HMI akan membawa akibat pada dirinya, bahkan dapat merupakan suatu bentuk kepribadiannya. Keempat, dalam konteks HMI, perkaderan tidak melulu di konfrontir oleh rumusan tujuan HMI, tapi juga harus tampak lebih ekspresif dalam’ pengujian hidup selanjutnya. PENEGAKAN AGENDA KERAKYATAN Dengan segala harapan yang sempat mengemuka, realitasnya gairah perjuangan para aktivis cenderung menurun. Sementara aroma politis sangat kental mewarnai dinamika internal HMI  dalam membangun kualitas organisasi. Itu belum dikaitkan dengam lambatnya respons terhadap dinamika eksternal-keumatan dan semakin tertinggal dengan komunitas pergerakan mahasiswa lainnya. Sewaktu penulis mengikuti Intermediete Training tingkat Nasional di HMI Cabang Bogor, hampir 9 (sembilan) tahun yang lalu, salah seorang pemateri tegas mengemukakan bahwa lambatnya respon dan lemahnya sinyal keumatan  ini karena sebagian besar aktivis HMI cenderung membelenggu dirinya justru dengan cara membangun structural movement (merapat ke pusat kekuasaan) melalui relasi patron-client. Celakanya, relasi patron-client hanya berujung pada simbiosa yang tidak mutualistis. Dominasi power interest dalam relasi tersebut lebih banyak membonsai gerakan kerakyatan. Kalaupun ada kompensasi dari relasi tersebut tidak lebih dari kompensasi sesaat yang tidak menyentuh pada kepentingan makro. Silahkan menilai sejauh mana kontribusi HMI pada 5 (lima) agenda besar Indonesia, mulai dari recovery ekonomi yang dibangun atas prinsip efisiensi-efektifitas, pemberdayaan politik melalui pembangunan sistem yang transparan dan accountable berbasis partisipasi masyarakat, agenda penegakan supremasi hukum, agenda penegakan HAM, agenda pentingnya menjaga kelestarian lingkungan? Belum ditambah problem rill macam naiknya BBM, TDL, kekerasan rumah tangga, hubungan diplomatik, dll. Bagi HMI tentu agenda kerakyatan adalah jawaban bagi tuntutan masyarakat, agenda kerakyatan adalah mainstreem utama membangun demokrasi. Tantangan penegakan agenda kerakyatan ini memerlukan kepedulian seluruh elemen, dan yang terpenting, agenda kerakyatan ini adalah bagian integral dari agenda basic need HMI dalam menjaga eksistensinya. Bagi penulis, paradigma HMI adalah paradigma yang harus  berangkat dari idealisme kemahasiswaan. Simbol HMI adalah simbol yang harus dekat dengan atribut kerakyatan, dan aktivitas HMI adalah aktivitas yang harusnya menjawab kebutuhan rakyat. PERLUNYA REVITALISASI Sedikitnya ada 5 (lima) hal yang menjadi PR (pekerjaan rumah-red. peserta kongres dan mendesak untuk diselesaikan pasca kongres nanti. Pertama, memperkokoh independensi. Dalam independensi ini ada 2 (dua) hal yang urgen untuk diperhatikan. Pertama adalah Independensi Organisatoris, dan kedua adalah Independensi Etis. Independensi Organisatoris akan mencegah HMI menjadi underbouw kekuatan politik lain. Sedangkan Independensi Etis akan menuntun HMI untuk setia dalam memperjuangkan kebenaran. Begitu HMI commited pada suatu kelompok, HMI kehilangan sifat kepemudaannya. Oleh karena itu bagi penulis, tiap anggota HMI harus melepaskan diri dari belenggu mental berupa pemujaan terhadap kelompok (Muhammadiyah, NU, Sukarno, Natsir, dll, termasuk senior-seniornya). Kedua, membangkitkan kembali dinamika intelektual. Bicara tentang intelektualitas, almarhum cak Nur selalu menjadi "kiblat" para aktivis HMI. Bahkan di antara kebanggaan menjadi aktivis adalah, ketika pada basic training (Latihan Kader I), calon anggota HMI sudah harus bergumul dengan pemikiran cak Nur yang terangkum dalam konsep Nilai Dasar Perjuangan (NDP), materi pokok untuk LK I. Materi ini di samping sarat dengan muatan filosofis tentang nilai-nilai fundamental agama (Islam), juga disampaikan oleh pemateri training dengan metode brainstorming yang memungkinkan peserta berdialog secara "liar" tentang pemahaman keagamaannya selama ini. Belakangan forum diskusi terbatas mulai menghilang dari kebiasaan para aktivis. Indikasi sederhana yang bisa dibaca dari fenomena ini antara lain, semakin kaburnya proses kelanjutan pengaderan yang ditandai dengan tidak adanya follow up training yang jelas, reproduksi instruktur melalui senior course (SC) yang lamban, serta semakin sulitnya mencari pemandu hanya untuk sekadar mengelola LK I, kalau tidak percaya silahkan tengok kondisi HMI di masing-masing Cabang, lihatlah rendahnya minat kader HMI untuk belajar dan mendalami ajaran Islam sebagai problematika tersendiri bagi organisasi ini. Padahal, faktor yang menjadikan organisasi ini besar adalah tumbuh suburnya pemikiran Islam yang rasional. Ketiga, memperkuat dan merapikan soliditas kader (shaff-nya yang rapi dan rapat dalam konteks salat jamaah). Bagi penulis, indikasi ini sudah sangat cukup untuk mengukur sejauh mana organisasi mampu membangun jamaah yang rapi dan teratur layaknya bangunan kokoh (lihat terjemahan ayat quran di atas). Dampak yang paling bisa dirasakan adalah terabaikannya pola pengaderan yang sustainable, hanya karena mereka lebih sibuk mengurusi "agenda politiknya" dengan menyita banyak waktu dan pikiran. Keempat, meningkatkan spiritualitas kader. Di kalangan aktivis, gagasan liberalisme (dalam hal pemahaman agama) nampaknya bukan hal baru. Pada hemat penulis, pemahaman inilah yang menjadi pangkal dari memudarnya spiritualitas kader. Pelanggaran terhadap ajaran Islam secara terang-terangan baik dalam konteks ibadah maupun amal dipandang sebagai sikap yang dapat menurunkan kredibilitas organisasi, dan harus diberi sangsi organisasi. Salah besar dalam sebuah organisasi Islam, persoalan keislaman diserahkan kepada individu kader. Kelima, memperjelas orientasi arah pengaderan. Sesuai tujuan HMI yang termaktub dalam AD/ART, maka profil kader adalah sebagai insan akademik, pencipta (kreatif), pengabdi (beretos ibadah tinggi) bertanggung jawab (amanah), menjunjung tinggi nilai Islam demi tegaknya masyarakat yang adil dan makmur yang diridlai Allah. Tujuan inilah yang kemudian menjadi muara orientasi proses pengaderan yang ada di HMI. Sebagai khatimah, Darwin pernah menyampaikan dalam The Origin of Species, bahwa  “bukan yang terkuat dan yang terbesar yang akan bertahan, tapi yang paling adaptif”. Sekuat dan sebesar apapun HMI bila tidak adaptif dalam merespon masalah maka akan punah jua. Apabila HMI dapat adaptif dan  mere-orientasi dirinya, HMI akan bertahan sebagai organisasi profesional, modern, dan sustainable. Sungguh, kasih sayang Allah akan tercurah pada HMI ketika ruh perjuangan umat bersemayam kembali dengan membangun jamaah yang teratur dan militan layaknya bangunan yang tersusun kokoh. Semoga HMI dapat menjadi Harapan Masyarakat Indonesia, sesuai amanat Panglima Besar Jendral Sudirman. Yakinkan dengan niat, sampaikan dengan usaha, Yakin Usaha Sampai. Selamat berkongres, bahagia HMI..

Temukan juga tulisan ini di akun Facebook penulis : http://www.facebook.com/note.php?note_id=451234094284 *Penulis adalah mantan pegiat HMI Cabang Malang Komisariat Pertanian UNIBRAW.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun