Pulau Kalimantan sangat dianugerahi oleh kekayaan alam di dalamnya. Di Kalimantan Selatan sendiri masih sangat terjaga pelestarian alam di dalamnya, maka tak heran jika masih banyak terdapa tanaman-tanaman herbal masih tersedia di daerah ini. Kabupaten Banjar merupakan salah satu wilayah terbesar di Kalimantan Selatan. Kali ini saya mengalisis wilayah Kecamatan Sungai Pinang yang dimana tempat tersebut berhasil membudidayakan tanaman herbal atau biofarmaka. Maka dari itu, saya turun langsung ke lapangan untuk melihat perkebunan Biofarmaka yang ada disana dan juga berdasarkan data yang diperoleh melalui BPS Kabupaten Banjar dengan rentang tahun 2019 sampai 2023.
Berdasarkan survei lapangan dan data yang saya peroleh, produksi tanaman biofarmaka menunjukkan beragam tren. Â Jahe dan kencur memperlihatkan fluktuasi produksi dengan puncak produksi pada tahun 2021, kemudian menurun pada tahun 2022 dan 2023. Fluktuasi ini kemungkinan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti perubahan cuaca, serangan hama dan penyakit, serta dinamika permintaan pasar. Kunyit mengalami penurunan produksi dari tahun 2019 hingga 2020, kemudian meningkat pada tahun 2021 sebelum kembali menurun pada tahun 2022 dan 2023. Â Di sisi lain, laos/lengkuas menunjukkan tren positif dengan produksi yang terus meningkat sejak pencatatan dimulai pada tahun 2020 hingga 2022, meskipun sedikit menurun pada tahun 2023.
Temu kunci yang mulai diproduksi pada tahun 2019 menunjukkan fluktuasi produksi, sementara temulawak hanya tercatat produksinya pada tahun 2020. Â Beberapa tanaman seperti kapulaga, keji beling, lempuyang, lidah buaya, mahkota dewa, mengkudu/pace, sambiloto, dan temu ireng tidak memiliki data produksi selama periode tersebut. Hal ini mengindikasikan bahwa tanaman-tanaman tersebut mungkin tidak dibudidayakan secara signifikan di daerah ini, atau data produksinya tidak tersedia. Â Jeruk nipis dan serai baru tercatat produksinya pada tahun 2023, menunjukkan kemungkinan dimulainya budidaya atau ketersediaan data pada tahun tersebut.
Berdasarkan analisis tersebut, terdapat beberapa rekomendasi untuk pengembangan produksi tanaman biofarmaka.  Pertama, perlu dilakukan peningkatan diversifikasi dengan mengembangkan budidaya tanaman biofarmaka lain yang sesuai dengan kondisi agroklimat daerah. Kedua,  peningkatan produktivitas  dapat dicapai melalui penerapan teknologi pertanian yang lebih baik, pengendalian hama dan penyakit yang efektif, serta penggunaan bibit unggul. Ketiga,  pengembangan pasar  melalui kerjasama dengan industri biofarmaka  diperlukan untuk  menjamin  pasar  yang stabil bagi hasil produksi.Â
Kemudian, hasil produksi di Sungai Pinang ini apabila dilihat terhadap Faktor Basis dan Non Basisnya dapat diperoleh bahwa analisis produksi tanaman biofarmaka di Sungai Pinang terhadap nilai Location Quotient (LQ) dan status basis/non-basis selama periode 2019-2023 menunjukkan bahwa jahe dan kencur umumnya memiliki nilai LQ yang berfluktuasi di sekitar 1, mengindikasikan produksi yang relatif seimbang dengan Kabupaten Banjar. Meskipun umumnya bersifat non-basis, kedua tanaman ini sempat menjadi basis pada tahun 2021 ketika nilai LQ mencapai 1,28 untuk jahe dan 1,53 untuk kencur. Hal ini menunjukkan potensi pengembangan kedua komoditas tersebut di Sungai Pinang. Kunyit menunjukkan tren peningkatan nilai LQ, dengan nilai di atas 1 pada tahun 2021, 2022, dan 2023.  Kunyit beralih dari non-basis menjadi basis sejak tahun 2021, menunjukkan peningkatan spesialisasi produksi di Sungai Pinang. Laos/lengkuas  menunjukkan peningkatan nilai LQ yang signifikan, dengan nilai di atas 1 sejak tahun 2020 dan terus meningkat hingga 2023,  menegaskan posisinya sebagai komoditas basis dengan spesialisasi yang kuat di Sungai Pinang.
Temulawak, meskipun data LQ-nya terbatas, menunjukkan potensi sebagai komoditas basis dengan nilai LQ mencapai 2,94 pada tahun 2020. Â Sayangnya, Â beberapa tanaman seperti kapulaga, keji beling, lempuyang, lidah buaya, mahkota dewa, mengkudu/pace, sambiloto, temu ireng, jeruk nipis, dan serai tidak memiliki data LQ yang cukup atau tidak diproduksi secara signifikan, sehingga sulit untuk menentukan status basis/non-basisnya. Keterkaitan antara data LQ dan data produksi menunjukkan bahwa tanaman yang konsisten menjadi basis, seperti kunyit dan laos/lengkuas, Â juga menunjukkan peningkatan produksi yang stabil atau signifikan. Sebaliknya, tanaman non-basis seperti jahe dan kencur memiliki produksi yang fluktuatif, mencerminkan kurangnya spesialisasi.
Berdasarkan analisis tersebut,  direkomendasikan untuk fokus pada peningkatan produksi dan pengembangan pasar untuk tanaman basis seperti kunyit dan laos/lengkuas.  Perlu dilakukan evaluasi lebih lanjut terhadap potensi tanaman non-basis seperti jahe dan kencur untuk menentukan strategi pengembangan yang tepat,  baik untuk meningkatkannya menjadi komoditas basis maupun untuk diversifikasi tanaman lain.  Penjajakan potensi tanaman lain yang belum terdata atau belum diproduksi secara signifikan juga perlu dilakukan, terutama jika memiliki nilai LQ tinggi di wilayah lain.  Peningkatan pengumpulan data LQ dan produksi yang lengkap dan konsisten untuk semua tanaman biofarmaka  sangat penting untuk mendukung analisis dan perencanaan yang lebih baik.
Yang terakhir, tak lupa juga saya menganalisis Tanaman Biofarmaka ini terhadap pemenuhan kebutuhan harian penduduk di Kacamatan Sungai Pinang. Analisis pemenuhan kebutuhan harian tanaman biofarmaka di Sungai Pinang periode 2019-2023 menunjukkan bahwa produksi jahe umumnya mampu memenuhi kebutuhan, bahkan surplus pada beberapa tahun. Hal ini sesuai dengan statusnya sebagai tanaman non-basis dengan nilai LQ yang berfluktuasi di sekitar 1,  mengindikasikan bahwa produksinya cukup untuk memenuhi kebutuhan lokal, namun belum menjadi komoditas unggulan.  Di sisi lain, produksi kencur masih jauh di bawah kebutuhan, menunjukkan defisit yang signifikan. Meskipun sempat menjadi basis pada tahun 2021,  produksi kencur yang belum mencukupi kebutuhan lokal  menunjukkan perlunya peningkatan produksi jika ingin menjadi komoditas unggulan.  Kunyit menunjukkan tren positif dengan produksi yang meningkat dan mampu memenuhi bahkan melebihi kebutuhan sejak tahun 2021. Status kunyit sebagai basis dengan nilai LQ di atas 1 sejak tahun 2021  didukung oleh kemampuan produksinya yang surplus, menunjukkan potensi pengembangan lebih lanjut.
Laos/lengkuas  menunjukkan potensi yang sangat besar sebagai komoditas unggulan.  Produksinya meningkat pesat dan jauh melebihi kebutuhan,  sesuai dengan statusnya sebagai komoditas basis dengan nilai LQ yang tinggi.  Temulawak, meskipun data produksinya terbatas,  menunjukkan potensi sebagai komoditas basis dengan produksi yang melebihi kebutuhan pada tahun 2020. Nilai LQ yang tinggi  mendukung potensi tersebut, namun perlu ditingkatkan  produksi  secara konsisten untuk memenuhi kebutuhan secara berkelanjutan.  Sayangnya,  data produksi  untuk tanaman lain seperti kapulaga, keji beling, lempuyang,  dan lain-lain  tidak cukup atau tidak diproduksi secara signifikan, sehingga belum dapat dianalisis  pemenuhan kebutuhannya.