Mohon tunggu...
MUHAMMAD IHSAN
MUHAMMAD IHSAN Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa PKN STAN

Perpajakan, Akuntansi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Negative Income Tax: Solusi Kemiskinan, Kepatuhan Pajak, dan Mobilisasi Sosial

7 April 2024   00:41 Diperbarui: 7 April 2024   01:02 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Optimalisasi penerimaan perpajakan merupakan langkah utama yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan tax ratio. Namun realitanya, walaupun penerimaan pajak dari tahun ke tahun cenderung naik, Tax Ratio di Indonesia dari tahun 2017 -- 2022 berkisar sekitar 9-12% meskipun tingkat pertumbuhan penerimaan pajak meningkat hingga 70%. Hal ini karena tax ratio bukan semata-mata tentang jumlah kontribusi pajak melainkan juga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi yang tercermin dalam Produk Domestik Bruto (PDB). Hubungan antara PDB dan penerimaan perpajakan tidak sesederhana perhitungan matematis. Secara teoritis, keduanya punya probabilitas yang sama untuk terjadi.

Struktur pajak terbesar di Indonesia adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). PPh didominasi oleh PPh Nonmigas, yang terbagi menjadi PPh Badan dan PPh Orang Pribadi (OP). Kontribusi PPh Badan di Indonesia mencapai lebih dari 29 persen, melebihi kontribusi PPh OP yang hanya sebesar 9 persen. Hal ini berbeda dengan rata-rata negara OECD yang memiliki kontribusi PPh OP sebesar 24 persen, yang lebih besar daripada kontribusi PPh Badan yang hanya sebesar 9 persen. Hal ini menunjukkan bahwa potensi optimalisasi PPh OP di Indonesia sangat besar. Ditambah lagi, masih banyaknya Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) yang belum masuk ke dalam sistem perpajakan dan tingkat kepatuhan WP OP yang masih belum optimal. Hal ini didukung oleh pernyataan IMF bahwa PPh OP yang kuat dan tangguh diperlukan untuk mengimplementasikan kebijakan fiskal.

Berkaca dari hal tersebut, dibutuhkan sebuah terobosan baru untuk menaikkan tax ratio di Indonesia, terutama pada sektor PPh OP. Optimalisasi penerimaan tidak harus selalu terkait soal tarif dan ekstensifikasi. Salah satu solusi yang dapat kita terapkan adalah menerapkan Negative Income Tax pada Pajak Penghasilan Orang Pribadi dengan skema Earning Income Tax Credit.

NEGATIVE INCOME TAX

Negative Income Tax (NIT) pertama kali digagas oleh Milton Friedman pada tahun 1962.  NIT adalah cara untuk memberikan insentif kepada orang-orang di bawah tingkat pendapatan tertentu sampai dengan batas penghasilan tertentu. Batas penghasilan ini dapat disesuaikan dengan standar biaya hidup. Pemerintah akan memberikan insentif atas penghasilan tertentu yang secara bertahap akan berkurang tersebut seiring dengan meningkatnya penghasilan. Meskipun subsidi NIT berkurang seiring dengan naiknya pendapatan, pada skema NIT orang yang bekerja lebih giat akan selalu menghasilkan lebih banyak daripada orang yang tidak bekerja, sehingga idealnya akan memberikan insentif kepada orang untuk bekerja. Misalkan, batas pendapatan NIT yang ditetapkan sebesar 50 juta, dan persentase pajak pendapatan negatif adalah 50 persen, seseorang yang berpenghasilan 25 juta akan menerima 12,5 juta dari pemerintah. Jika penghasilan naik 40 juta, maka akan menerima 3,5 juta dari pemerintah.

KELEBIHAN NEGATIVE INCOME TAX 

Dewasa ini, NIT telah melalui berbagai proses pengembangan sehingga dapat lebih optimal daripada saat pertama kali diterapkan. Salah satu program NIT yang telah sukses adalah Earning Income Tax Credit (EITC). EITC adalah fasilitas kredit pajak yang ditujukan untuk individu dengan menengah kebawah dan telah diterapkan di negara-negara maju seperti Amerika dan Korea Selatan (PWC, 2023). WP OP, dengan kriteria tertentu, dapat mengajukan EITC kepada otoritas pajak setelah melaporkan SPT Tahunannya. Setelah melalui seleksi dan perhitungan berdasarkan syarat yang telah ditentukan sebelumnya, WP OP tersebut akan menerima bantuan sosial berupa uang dari pemerintah. Beberapa manfaat EITC antara lain:

1.   Meningkatkan produktivitas dan mengurangi kemiskinan

Panjaitan (2023) mengungkapkan bahwa beberapa manfaat EITC antara lain mendorong orang untuk bekerja, meningkatkan produktivitas nasional, dan mengurangi kemiskinan. Hal ini lantaran berbeda dengan bantuan sosial yang pada umumnya diberikan kepada siapa saja, program EITC mendorong WP untuk bekerja agar dapat mendapatkan subsidi tersebut. Selain itu pemberian subsidi dapat menjadi lebih tepat sasaran. Granel (2019), dalam penelitiannya, mengungkapkan bahwa penerapan NIT dapat mengurangi kemiskinan secara signifikan melalui redistribusi pendapatan, terutama memberikan manfaat bagi keluarga yang memiliki anak dan mengurangi kemiskinan ekstrem, seperti yang ditunjukkan dalam simulasi di Spanyol. Sebagai pendukung, penelitian yang dilakukan Alexander (2017) menunjukkan bahwa Skema Hybrid NIT mengurangi kemiskinan dan kesenjangan di Inggris dan Italia.

2.   Meningkatkan kepatuhan pelaporan pajak

Dalam praktiknya di Amerika, dilansir dari web IRS, WP harus mengajukan pengajuan EITC dengan melengkapi syarat-syarat dalam pelaporan SPT Tahunannya. Sehingga syarat administrasi utama WP untuk menerima subsidi ini adalah melakukan pelaporan pajak. Peningkatan kepatuhan pelaporan WP, khususnya WP OP, dapat membantu meningkatkan Tax Ratio. Panjaitan (2023) mengatakan bahwa saat ini tingkat kepatuhan WP OP pada tahun 2022 sebesar 83,2 persen. Dengan menerapkan program EITC, otoritas pajak dapat mendorong WP yang telah terdaftar untuk melaporkan SPT Tahunannya dengan insentif pengembalian pajak melalui program EITC sembari mendorong Subjek Pajak Orang Pribadi yang belum terdaftar untuk mendaftarkan diri dan mendapatkan NPWP. Kenaikan pendaftaran NPWP ini diharapkan dapat memperluas basis pajak dengan ekstensifikasi subjek pajak khususnya yang bekerja pada sektor informal yang sebelumnya tidak dapat dijangkau oleh otoritas pajak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun