“Di Indonesia: kurang lebih 160 orang, baik yang telah terdemisioner maupun yang masih menjabat sebagai pejabat wakil-wakil rakyat jajaran eksekutif di Indonesia terjerat kasus yang menjerat ke meja hijau—80 persen dari pemilihan kepala daerah yang baru saja digelar di Indonesia, bermasalah”
Kepemimpinan merupakan masalah yang menjadi momok bangsa ini sejak bergulirnya kemerdekaan Indonesia tahun 1945—tanpa sadar, selama lebih setengah abad kita menciptakan euphoria-euphoria pertanda kemerdekaan, kita masih saja memasukkan hal tersebut dalam kolom-kolom perbincangan yang tiada habisnya. Dalam suatu teori, diungkapkan bahwa “suatu kemajuan zaman tidak dapat ditolak dan didepak jauh dari keberadaan suatu masyarakat”, begitupun dengan suatu hal yang kita kenal dengan memimpin. Bertahun, berdekade, berabad—kita dihadapkan dengan masalah kepemimpinan dengan berbagai tipe dan cara, dan memang dalam suatu kepemimpinan tidak ada harga mutlak untuk mengatur sesuatu. Satu hal yang pasti terkait pemimpin adalah pengaruh.
Tampaknya kata pengaruh dalam konteks kepemimpinan sudah semakin keluar dari kelasnya—pengaruh yang membawakan kejahatanpun saat ini bisa kita lihat menempati kursi-kursi rakyat, pengaruh tentang masuknya kebiasaan dan trend barupun sudah mulai menmproklamirkan diri sebagai calon pemimpin. Pengaruh yang datangnya dari hipnotis duitpun sudah mulai marak dengan keanekaragamannya saat ini—dan yang ditelurkan hanyalah mental-mental kotor yang berdasarkan materialistik. Kualifikasi pemimpin sekarang adalah kualifikasi yang didasarkan atas pengaturan, pengaturan tanpa memperhatikan pengalaman dan cara kerja—dan ini yang membuat kita tetap berada pada kolom krisis kepemimpinan, sangat keropos.
***
Politik yang dimainkan tahun-tahun terakhir adalah pola untuk mempelajari kesalahan—mempelajari kesalahan untuk membuat kesalahan yang lebih besar—bagaimana mungkin membuka modal besar untuk sebuah jabatan, dan setelah jabatan didapat, modal itu tidak kembali dalam satu periode jabatan—rasio seperti apa lagi yang akan digunakan kalau bukan “nyolong”. Tidak ada kata politik di Indonesia yang bersinggungan dengan kebutuhan beras rakyat, tidak ada lagi kepercayaan pada satu bangsa yang berlogo “bhineka tunggal ika”. Kalau kondisinya pemimpin saat ini mulai mengacuhkan masyarakat karena sedang mempertahankan politiknya—akan seimbanglah ketika masyarakat itu pula mulai mengacuhkanya, dan mulai berpikir bahwa golongan-golongan yang membawakanya mendapatkan status kepemimpinan adalah golongan “kurcaci”.
Wajah pemimpin yang bercorak politik Indonesia harus mulai difilter secara utuh. Kebutuhan pemimpin dan kekuasaan adalah untuk mengatur, bisa melakukan tanpa terlebih dahulu berbicara sumbang. Terkait hal ini, yang perlu ditata dari awal adalah pemahaman terhadap sepak terjang seseorang dalam segala hal. Parameter politik saat ini bukan lagi parameter yang perlu dimasukkan dalam kualifikasi—manifestasi yang perlu diutamakan adalah untuk mengatur, memanajemen sesuatu, karena ketika terkena badai, tidak memikirkan cara untuk menjatuhkan lawan, tapi memikirkan cara menyelasaikan persoalan masyarakat. Kepemimpinan bukan bawaan melainkan keteguhan untuk bertahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H