Bukan sekedar tuntutan—adanya hubungan antar sesama manusia (ngelink), merupakan kebutuhan manusiawi. Menjalin hubungan sebanyak-banyaknya dengan tujuan mendapatkan sebuah tujuan merupakan hal yang selalu dilakukan siapapun dan dimanapun seseorang tersebut berada—bagaimana dengan melakukan sesuatu dengan mengorbankan kepentingan dan bahkan hak hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan, ini yang selalu dijadikan bahan pembicaraan yang sifatnya negatif.
Urgensi Menjalin Hubungan
Kita sering mendengar bahwa, seseorang dapat dilihat dari teman-teman dan linkunganya, begitupun dengan keberhasilan seseorang, dapat dilihat dan ditebak dari seberapa banyak link yang dia punya—bagaimana kita dapat menyisihkan pentingnya menjai hubungan dalam setiap sisi hidup sementara hal tersebut merupakan salah satu yang menentukan seseorang tersebuat berhasil atau tidak. Tidak ada orang sehebat apapun yang dapat hidup dan mengembangkan apapun yang dia miliki tanpa partisipasi orang lain—begitu besar tanda yang diberikan yang Maha Kuasa untuk tidak hidup egois dan menyendiri.
Dalam hal apapun, mulai dari hal yang paling kecil sekalipun, kita membutuhkan seseorang (link) atau sekelompok orang untuk dapat mencapai hal tersebut. Sebut saja untuk membangun rumah, apa ada hanya seorang saja yang membangun rumahnya di dunia ini? Saya rasa begitupun dengan hal-hal yang lainnya, bahkan raja dan presiden sekalipun membutuhkan link untuk memuluskan kekuasaannya. Ini merupakan tabiat manusia yang hidup untuk saling membutuhkan. Jaringan dan hubungan harus dilakukan oleh setiap manusia agar apapun yang dilakukan dapat dilaksanakan dengan baik dan bermanfaat untuk orang yang lebih banyak.
Tentunya karena menjalin hubungan ini merupakan hak yang dimiliki oleh setiap manusia, begitupun dengan pemanfaatanya, kita dihadapkan pada tawaran menggiurkan, antara memanfaatkan hal tersebut untuk sesuatu yang baik atau bahkan untuk—kita menjadi lebih bodoh, atau tertantang untuk menjadi orang yang lebih pandai.
Perubahan Paradigma (link to be link-ISME)
Karena dengan pentingnya menjalin hubungan (link), kita dihadapkan dalam suatu perubahan paradigma terhadap suatu jalinan hubungan—mungkin saja perubahan ini merupakan kebiasaan yang membudidaya dikalangan sekelompok orang, atau seluruh manusia yang menggunakan manfaat link ini. Kalau berbicara tentang perubahan, ada dua bahkan lebih kondisi yang harus dibandingkan. Belakangan ini karena kita selalu dihadapkan pada perbandingan yang menyinggung krisis kepemimpinan yang ada di Indonesia, mulai zamannya founding father sampai dengan zamannya pemimpin yang rumornya kurang “berani” mengambil sikap saat ini, mungkin tidak ada salahnya saya akan membandingkan perubahan paradigma ini mulai dari zaman setelah kemerdekaan sampai dengan saat sekarang.
Masa-masa setelah kemerdekaan (2-3 tahun), merupakan masanya pemimpin Indonesia diuji rasa integralistiknya terhadap berbagai keadaan yang masih bernuansa imperialisme. Bahkan sampai terjadi dua kali pergantian presiden yang sampai saat ini, nama presiden tersebut jarang kita ketahui—yaitu pada masa pemindahan ibu kota Negara ke Jogjakarta dan pada saat munculnya Republik Indonesia Serikat (RIS). Banyak pula kejadian-kejadian yang dianggap sebagian orang kontra revolusioner (kata popular) terhadap tindakan beberapa orang bapak bangsa. saah satunya yang dilakukan oleh Syahrir, dengan melakukan hubungan luar negeri dengan tujuan menyatukan NKRI secara berkala.
Banyak yang merasa tindakan ini berpotensi untuk mengimpor kembali penjajah ke bangsa yang baru beridiri. Alhasil, seperti saat inilah keadaan Indonesia, kurang lebih 13 ribu pulau yang tergabung dalam NKRI. Begitu juga dengan Tan Malaka, yang menjalin hubungan luar negeri dengan orang-orang yang dibilang komunis, terlebih lagi yang dilakukan Soekarno yang berjalan untuk mempromosikan kemerdekaan Indonesia ke berbagai penjuru dunia. Semua dilakukan atas dasar untuk kepentingan perdamaian dunia—kebutuhan rakyat yang utama.
Habis berbicara tentang yang dijadikan bandingan, pembandingnya adalah generasi-generasi muda dan sekaligus pemimpin kita saat ini. Hubungan (link) dilakukan dengan berbagai motifasi, beruntunglah orang-orang yang memiliki motifasi murni untuk membangunkan rakyat membangun bangsa—motifasi lainnya adalah bernada oportunis sekaligus menunjukkan kalau sebagian pemuda dan pemimpin-pemimpin negeri ini menjadikan link tersebut sebagai tuhan yang wajib dimiliki untuk meraih cita-cita masing-masing. Ada ungkapan yang menarik terkait hal ini, “orang pintar tanpa linktidak akan berguna apa-apa, begitupun dengan memiliki link tanpa kepintaran, hanya akan jadi tong kosong yang suaranya ribut.
Kondisi yang dulu tentunya tidak sama seperti sekarang, tapi terminologinya tetap sama, kita terus terjajah, sekarang oleh orang-orang pribumi—dibalik banyaknya kelompok orang, kumpulan maupun organisasi yang berkembang di Indonesia, link sudah menjadi link-Isme, paham yang menggantungkan sesuatu hanya untuk mendapatkan kenalan-kenalan sebanyak-banyaknya—volume kepintaranpun bertambah pada panggung oportunis dan penjilat. Masuk ini, masuk itu hanyalah kedok untuk berkenalan, bahkan dengan pejabat dan pemimpin-pemimpin tertinggi di bumi Indonesia. Berpikir bahwa zaman sekarang tidak memerlukan lagi keahlian/ kepintaran terhadap sesuatu, hanya membutuhkan link. Kapan KPK dibubarkan kalau banyak dari calon-calon pemimpin bangsa ini berpikir seperti itu.