Pengantar
Akhir-akhir ini kita melemparkan perhatian pada hal-hal terkait Pemilu Indonesia 2014, mungkin juga terkait acara-acara kurang bermutu pada siaran televisi atau juga terkait bencana alam selama 2 bulan terakhir yang menjadi langganan sebagai resiko dari anugerah Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang begitu melimpah. Tantanganya adalah bagaimana cara kita sebagai makhluk berakal, menegakkan dan mengarahkan pandangan kita selanjutnya terhadap berbagai hal tersebut—rebuild or enjoy it.
Terlepas dari berbagai macam “kutukan” yang sering kita lihat atau dengar di media televisi dan media massa terhadap pejabat, pemerintahan, pada media—KITA HARUS CEPAT UNTUK MENYUSUN KONSEP BERBENAH. Tak perlu muluk-muluk, kalau di Jakarta saat ini sedang sibuk dengan banjirnya, seyogyanya kita mulai menyusun jadwal pembersihan selokan, kali, atau juga reboisasi pada daerah yang bisa menjadi daerah serapan air pada suatu kelurahan/kecamatan. Kita tidak seharusnya menikmati kutukan yang sedang beredar di media massa, politik isu bahkan menikmati banjir yang sudah dianggap hal yang BIASA oleh sebagian orang.
Lebih dari hal tersebut, melihat potensi positif yang bisa ditimbulkan oleh ketiga hal yang sedang melanda Indonesia saat ini adalah sesuatu yang patut kita coba. Momentum yang sudah berjalan sesuai dengan siklus masing-masing. Dalam kenyataanya, sesungguhnya apa yang terjadi saat ini sudah bisa kita prediksikan dari tahun-tahun sebelumnya, namun tidak begitu nyata dalam tindakan yang selama ini kita lakukan untuk bisa mengorganisir nikmat di bumi Indonesia.
Pemilu dan Bencana Alam
Mengenai pemilu Republik Indonesia yang kita laksanakan dalam siklus 5 tahun-an dan bencana alam yang sekiranya paling tidak akan datang setiap tahun, ditambah dengan badai, erupsi gunung berapi dan sebagainya, harus menjadikan lebih arif dalam menentukan arah perkembangan dan kebijakan suatu pemerintahan. Kita melihat Jepang sebagai raw model yang bisa dijadikan contoh bahwa manusia tak bisa takluk dan pesimis dengan goncangan Bumi. Jepang menjadi Negara dengan banyak teknologi canggih yang dapat dimanfaatkan untuk mengorganisir nikmat tuhan.
Momentum ini datang berulang kali, dan berulang kalipun kita menghujat satu dengan yang lain—walau nampaknya terlihat lobang besar di Negara Indonesia bahwa kesempatan ini tidak dimanfaatkan dengan tepat untuk menjadikan Indonesia lebih baik—terutama untuk para decision maker. Dalam hal ini, momentum menjelang pemilu dengan berbagai macam bencana alam yang menyerbu Indonesia sangat memungkinkan ditarik garis relasi, lihat saja bagaimana para calon anggota legislatif atau juga bakal calon presiden yang masih malu-malu mau, begitu murah hatinya membantu bahkan terjun langsung ke lokasi bencana alam, sembari menanyakan keresahan warga, apa yang dibutuhkan, kepinginnya apa. Pemandangan BIASA.
Selanjutnya hal yang dapat kita cermati adalah, terutama terkait bencana banjir yang beberapa hari ini menimpa Jakarta merupakan salah satu sumbangan penataan lingkungan serta pengalihan lahan yang berfungsi sebagai wadah serapan air menjadi bangunan yang terkadang tak punya izin. Akhir-akhir ini kita bisa melihat di media massa bahwa ratusan vila yang ada di daerah puncak mulai ditumbangkan oleh pemda terkait—disamping karena memang fasilitas irigasi yang ada di Jakarta sudah mulai menua.
Desa adalah Asa
Walau sejak zaman orde baru sudah mulai dikampayekan tentang pemerataan terhadap seluruh penjuru Indonesia, dalam prakteknya desa yang menjadi satuan kecil dari pembangunan itu masih haus dari sentuhan tangan-tangan birokrat, entah itu dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Yang muncul hanyalah prestasi-prestasi individu yang berusaha untuk memperbaiki kemaslahatan rakyat dipedesaan. Hal ini tentunya juga tidak akan cukup tanpa perubahan yang bersifat secara strutural.
Pada kenyataanya, seperti di pulau Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Jawa, Papua, atau Nusa Tenggara, desalah yang menjadi sumber eksploitasi Sumber Daya Alam yang mengenyangkan, entah itu melalui tambangnya (emas, batubara, minyak), melalui keterampilan masyarakatnya (kerajinan tangan, seni, budaya), hutan, flora dan faunanya. Sejauh itupula “desa” seperti terstagnasi. Mungkin anggapan kita bahwa desalah yang menjadi pembantu untuk kemeriahan kota-kota di Indonesia, atau juga ungkapan lama bahwa “kepeng yang seharusnya beredar di desa karena SDAnya melimpah, justru dilarikan ke Kota) masih terus dipraktekkan di bumi Indonesia.
Hal inipulalah yang sekiranya menjadikan migran dari desa ke kota sangat sering dikeluhkan oleh beberapa orang, kepadatan penduduk yang berlebihan dari suatu Kota, karena lapangan pekerjaan yang “luas” hanya berada di Kota-kota besar. Setidaknya pada tahun 2000 salah satu kecamatan di DKI Jakarta memiliki kepadatan 15.000 orang/km2, hal yang sangat fantastis. Kemudian pada tahun 2005 propinsi DKI Jakarta masih mendapatkan kepadatan penduduk sebesar 13.344 orang/km2, sedang pada propinsi lain yang ada di Indonesia kepadatan penduduknya tidak lebih dari 2000 orang/km2.(Sumber BPS).
Tentu saja hal ini membawa paradigma bahwa hanya di Kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan yang dapat memunculkan lapangan pekerjaan yang baik. padahal nyatanya tingkat kedalaman kemiskinan masih sangat rentan di Kota-Kota besar.
Dalam data statistik, dikatakan bahwa jumlah desa yang ada di Indonesia pada tahun 2008 hampir kenak pada angka 70.000 desa, untuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit tidak lebih dari 2000 unit, rumah bersalin, poliklinik, dan puskesmaspun yang ada tidak lebih dari 10.000 unit di seluruh Indonesia. Begitu juga dengan desa yang terutama berada di daerah pesisir, baik tentang sarana kesehatan, pendidikan selalu lebih rendah dari yang desa yang bukan berada di daerah pantai—terlebih lagi dengan Kota-Kota yang ada saat ini di Indonesia, jelas akan timpang sekali. Hal ini tentunya sangat bertolak belakang dengan kekayaan yang dimiliki oleh desa itu sendiri
Penataan pembangunan, kemakmuran masyarakat, kesehatan, pendidikan terhadap desa memiliki arti penting sebagai bagian yang dominan dalam kemakmuran masyarakat kota. Desa bisa memainkan peran sebagai penyangga yang kuat sekaligus bisa menjadi trouble maker dari berbagai nestapa yang muncul di Indonesia. Padi, jagung, sapi, barang tambang sekaligus sentra dari bencana alam sangat sering muncul dari desa-desa di Indonesia. Membuat masyarakat desa memiliki ketahanan serta pengetahuan yang memadai adalah kewajiban yang harus kita tanggung bersama, terutama peran pemerintah. Pola pikiran yang city centris pula harus mulai disisihkan dalam rangka pembangunan desa. Dalam hal inilah Negara seakan-akan sengaja menarik masyarakat desa untuk mengungsi ke Kota.
Push factor terjadinya imigrasi harus mulai diminimalisir, sedang pull factor harus mulai disediakan di desa. Inilah tugas serta konsen selanjutnya yang harus kita lakukan untuk pemerataan yang lebih baik, sampai kepenjuru/pelosok Indonesia. Mengutus orang-orang cerdas untuk membangun desa.
This Time
Ya saat inilah waktu yang tepat untuk menyusun ulang konsep serta menjalankan konsep yang sepertinya mandeg. Menjadikan masyarakat desa dan desa itu sendiri menjadi lebih bernyawa di tengah industrialisasi yang sedang berjalan di Kota. Masyarakat Kota serta kotaitu sendiri harus kenal membalas budi, ingat jua akan sumbangsih dari desa yang sudah menciptakan, menghidupkan, bahkan membuat kaya kota dan masyarakatnya.
Pemilu yang berada di depan mata adalah instrument yang paling bermakna untuk kembali memperjuangkan hak-hak desa dan masyarakatnya. Saat ini bukan hanya calon wakil rakyat yang wajib maju dengan ide-idenya untuk mengubah—masyarakat kota yang kelihatannya lebih melek dengan pendidikan harus pula memiliki konsep yang harus dititipkan pada calon wakil rakyat tersebut. Bangunkan desa-desa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H