“Wahai mimpi, bagaimana kabarmu hari ini. Masihkah engkau segar dan berwarna seperti saat aku kecil dahulu atau bagai kunang-kunang yang bergerombol indah saat malam menghampiri sawah kampungku, menari-nari berpasangan mengeluarkan cahaya harapan. Oi…oi… mimpi masih kokohkah akar-akarmu di tengah musim yang sedang tidak menentu, yang mana anginpun bingung ber-arah dan sejalang-jalangnya binatangpun susah mendapat makan”.
Suara sayup-sayup itu muncul dari kejauhan, berjalan melalui samudera hindia, singgah sebentar di pantai selatan Nusa Tenggara, kemudian melagukannya dengan nada rendah di dalam dan kejauhan hati orang-orang dewasa yang berada di gugusan kepulauan Nusantara.
Di salah satu desa di sunda kecil, tak jauh dari suara ombak yang muncul akibat benturan dengan batu karang, di situlah berdiri tegak gubuk yang jauh dari keramaian. Entah bagaimana kisah gubuk itu bisa berdiri sendirian. Seorang lelaki tua hidup dengan seorang anak yang belum tahu baca dan tulis. Bagaimana ia bisa tahu baca dan tulis kalau tak ada yang mengajarkan, sedang seorang tua itupun tak bisa pula baca dan menulis.
Mereka hidup layaknya manusia-manusia purba, tapi telah mengenal pakaian, walau hanya dua sampai tiga lembar saja. Setiap hari kebutuhan dipenuhi oleh alam yang telah mereka kelola walau dengan kemampuan seadanya. Seorang tua punya bekal ilmu dari cerita yang sering ia dengar sewaktu menjadi pelaut semenjak kecil, hanya itulah yang membimbingnya sampai saat sekarang. Selain ceritra tentang cara meyambung hidup, ada lagi ia punyai cerita tentang ketangkasan yang muncul dari impian manusia, sedang ia sendiri tak pernah punya impian sampai dengan saat sekarang, apalagi urusan untuk mendapatkan apa yang diimpikan.
Sewaktu tengah hari atau sore menjelang, disetiap hari yang ia dapatkan selalu saja ia sempatkan untuk bercerita dihadapan anak kecil yang baru berumur sepuluh tahun itu. Kadang malam sebelum mereka tertidur, ia masih berbicara sendiri, mengingat-ingat kembali seluruh pengalaman yang ia dapatkan saat berlayar, walau tak pernah secuil kisah itu ia saksikan kebendaannya, bentuk, rupanya atau juga kenyataanya.
“malik, malik kesinilah sebentar”, ia memanggil anak kecil itu yang sedang bermain-main dengan pasir. Malik pun seperti biasa melangkah secepat kilat, karena tahu akan ada cerita yang datang. “iya kesinilah cepat-cepat malik”, sahutnya melihat langkah malik. Tanpa bicara sepatah katapun malik langsung mengambil posisi seperti biasa, duduk manis bagaikan seekor anak anjing jinak yang sedang menunggu diberikan makanan. Sedangkan seorang tua itu, yang biasa dipanggil sae oleh malik, telah duduk di atas alas potongan kayu jati yang telah berbentuk seperti bangku kecil. Mereka berdua berhadap-hadapan.
“iya sae”, sahut malik kemudian. “adakah kau mendapat kepiting kecil di pantai sana?” jawab seorang tua. “malik tak dapat apa-apa sae”, sambungnya. Seorang tua itu tak lantas menjawab lagi jawaban malik. Ia memandang ke langit, melihat awan tapi tak melihat matari, padahal seharusnya matari harus berada tepat tegak lurus dengan horizon. “oh kepitingpun tak bersenang ria hari ini”, jawabnya tanpa menghiraukan malik. Sebentar kemudian ia pandangi malik kembali, ia melihatnya dengan senyum merekah, pun demikian malik tambah berantusias dengan tatapan seorang tua itu.
“malik”, ia memulai. “masih maukah engkau dengar ceritaku malik?” bertanya tanpa perlu jawaban. Malikpun mengangguk mengiyakan. “dahulu aku pernah dengar cerita, bukan dari orang-orang seperti kita, tapi manusia berkulit putih dan kemerah-merahan itu yang menjadi lakonnya. Mereka dahulu sewaktu berumur sama denganmu punya cita-cita setinggi langit, ingin berkelana nan jauh di angkasa. mereka ingin ke bintang dan ingin ke matahari”, ia sambil menengok kembali ke matari yang telah tertutup awan. “ia malik, bukankah itu gila, akupun pertama kali mendengarnya terkejut bukan kepalang, merasa teman-temanku sesama pelaut hanya mengada-ada saja”, ia melihat pada wajah malik yang sudah berubah rautnya. “bukankah kau juga mungkin tak akan percaya malik? Sedang melihat manusia lainpun saat ini, kita tak punya kesanggupan”. Ia terdiam sesaat, matanya berkeliaran melihat kekosongan.
“tahu kau kelanjutannya malik?”. Malikpun menggeleng tanda kebingungan. Sambil menirukan gaya dan gerak-gerik temannya yang saat itu menceritakan, seorang tua itu melanjutkan ceritanya dengan antusias. “sungguh akupun tak percaya, kalau kabarnya mereka sudah berhasil mencapai bulan, menancapkan bendera-bendera negaranya tercinta di atas langit. Itulah bendanya malik, itulah tempatnya, yang engkau sering lihat di malam hari, kadang ia sangat sipit dan melengkung seperti merindu dan suatu saat itu berbentuk bulat penuh sehingga mendatangkan suara-suara ombak di pantai itu malik”. Malik sumbringah mendengarnya, wajahnya cepat berubah. “kabarnya mereka punya panggilan, merekalah astronot, ah tentu kau belum tau, akupun tak tau mereka manusia berdarah apa”.
Biasanya saat inilah ia berhenti sejenak bercerita, menunggu kalimat pertanyaan dari malik, melihatnya melonjak-lonjakkan keinginan kecilnya. Ia memandang malik, tapi malikpun tak kunjung melisankan pikirannya. Malik sudah jatuh lebih dalam dengan kekagumannya.
“alat-alatnya terbuat dari besi, kendaraannya besar, bisa melayang dan melaju secepat kilat”, ia melanjutkan.
“perahu dan kapal kita tentu tidak kalah kan dengan barang seperti itu sae?”, tiba-tiba saja malik menyahuti. Tentu saja yang malik maksud adalah kapal-kapal canggih yang pernah dibuat oleh leluhurnya, sewaktu Negara ini bernama Nusantara “iya itu mungkin saja malik, bisa salah, bisa pula benar, akupun tak pernah melihat itu semua terjadi, tak pernah menjadi saksi. Tapi begitulah kalau akupun engkau mintai pendapat, tentu saja aku lebih menaruh percaya dan mengungguli astronot-astronot itu dengan besi terbangnya dibanding dengan perahu kayu besar yang dibuat oleh kerajaan dahulu. Sebabnya kecanggihan itu sudah musnah, tak pernah lagi warta dan cerita tentang perkembangan dan bahkan keberadaan kapal itu tak pernah aku dengarkan lagi selama pengalaman saat berlayar”. Dan cerita-cerita tentang besi terbang itu terus saja meluncur begitu deras dari mulut seorang tua. Ia gerak-gerakkan tangannya menunjuk ke langit yang telah mendung, menurunkannya kembali layak pesawat yang siap mendarat, memutar-mutar badannya, mencontohkan si pencerita yang waktu itu berada dalam kapalnya. Cerita tentang kapal nusantara terhitung hanya sekali saja ia dengarkan, ia tak banyak tau dari teman-temannya dahulu, sekarangpun tak jelas lagi bagaimana ia menarik kembali simpul-simpul cerita yang sudah lama dan tak popular itu, begitulah anggapanya. Suatu cerita yang tak punya kekuatan, lebih-lebih punya daya tarik.
Malik masih saja nikmat memandangi tingkah seorang tua itu sampai ia selesai bercerita. “sae bagaimanakah malik bisa punya impian”, tanyanya kemudian. Ia sering diceritai tentang kisah kejayaan dari impian dan baru sekaranglah pertanyaan itu tiba-tiba terucap dimulut malik. Seorang tua itu nampak memperhatikan malik. “aku ingin jadi astronot sae, aku ingin jadi raja, aku ingin jadi dokter. Aku ingin ke bintang, Aku ingin jadi semua hal yang pernah sae ceritakan”. Lanjutnya kemudian. Lantas yang diberikan pertanyaan tersenyum dengan penuh arti.
“ah malik, engkau tak boleh rakus ingin jadi semua. Lagipula mereka semua itu bukanlah berasal dari seorang yang sama”. Ia tertawa sebentar. Ragu ia ingin menjawab, toh iapun tak pernah tau bagaimana berimpian. Apalah guna punya impian kalau semua sudah menghidupi. Laut dan gubuk ini sudah cukup memberi hidup, Ia berkata sendirian. Tapi malik tetap menunggu kelanjutan dari jawabannya.
“malik, dengarlah. Akupun belum pernah punya impian selama aku hidup. Aku lebih suka mendengar saja cerita-cerita itu. Di bumi ini”, ia menunjukkan tangannya ke bawah. “di situlah hidup ini bisa kita rasa dan bina. Aku pernah mendengar sekali waktu dari seorang teman, bahwa impian bisa jadikan seorang gila, ia ganti kenyataan yang kita lihat sekarang dengan bayangan dalam pikiran”, ia melihat malik mengkerutkan kening.
Oh aku telah salah, aku salah. Wajah malik tak antusias lagi.
“untuk kau malik, apapun bisa kau pilih, cobalah kau punya impian, kita belum tahu pula kalau itu tak kita coba, kelak kau harus ceritakan hasil impianmu pada aku ini”, sahutnya membesarkan hati malik. Ia tersenyum setelah melihat perubahan raut wajah dari malik.
Hujan tanpa halilintarpun kemudian turun menyelimuti sunda kecil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H