Mohon tunggu...
Muhammad Iftahul Jannah
Muhammad Iftahul Jannah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

manusia bisa terang karena ada manusia lain

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempatan Jalan

28 April 2013   00:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:30 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sinar matahari sudah mulai menembuscelah daun pohonan yang mangkal di pinggir jalan. Itu seperti pembawa harapanbaru untuk setiap pergantian hari baru. Tak ada yang berubah dalam kurun waktu2 tahun ini atau mungkin selama nation ini ada. Hanya tumbuhan dan daun yangsemakin menua, manusia yang semakin menua. Kendaraan-kendaraan mulai dari rodadua, sampai dengan roda delapan sudah mulai penuh dengan segala rutinatas,mengeluarkan asap-asap yang akan susah diimbangi oleh oksigen yang di hasilkandari tumbuhan. Ini kabar buruk dari alam, pertumbuhan mesin-mesin yang takterimbagi dengan pertumbuhan pohon-pohon.
Di jalan yang menguhubungkan antaraSurabaya dan Sidoarjo, jalan Ahmad Yani, udin masih saja melawan asap-asap yangmengepul di udara, ia bersama orang-orang sejenisnya, di perempatan jalan,bukan hanya pada satu perempatan. Jalan bukan lagi tempat mesin-mesin ituberoperasi, jalan sudah jadi tempat cari duit, cari kapital. Ini sudahberlangsung sebelum ia muncul sebagai manusia. Silih bergantian, yang miskinakan tetap menjalani siklus miskin, dan yang ber-ada akan tetap menjalanisiklus keber-adaanya. Udin masih berumur 14 tahun, iapun tak sempat lulussekolah dasar, keinginan untuk bisa jadi pengendara mobil-mobil bagus yangdilihatnya setiap detik, sudah ia kubur sedalam-dalamnya. Dua tahun sudah iacari makan di jalan, mengatur kendaraan yang ingin putar balik, atau berbelokke arah seberang. Tak hanya udin, teman-temannya yang lain ada beberapa yangseperti dia, masih sangat muda, tak lanjut sekolah dan sudah mulai mencari duitsendiri. Prit, prit, prit, suara pluit yang kini sudah jadi teman mulut udinsetiap hari. “maksih pak”, katanya. Ketika ada pengendara sepeda motor yangmemberinya duit seribu perak. “terimakasih”.
Langit masih terang dengankeangkuhannya, matahari juga sudah hamper berada di titik tengah. Udin danteman-temannya sudah mulai siap-siap untuk istrahat. Tapi bukan istrahat dimeja makan atau restoran-restoran sambil minum es, kebiasaan orang di Surabaya.Ia dan teman sepantaranya beristirahat di pinggir jalan, hanya pohon yangdijadikan atapnya. Tak ada makanan, hanya air yang ia bawa dari rumah. “dinberapa kau dapat”, kata seorang temannya. “biasa mad, seperti yangkemarin-kemarin, aku juga hampir tertabrak motor tadi, bajingan orang itu,sombong, mentang-mentang motor lari kencang, tak dihhiraukan aku yang sedangmengatur kendaraan yang mau nyebrang, untung saja aku tadi langsung melompat”.Ahmad hanya tertawa kecil, “makanya kau itu jangan terlalu ke tengah jalan,pekerjaan yang tak cukup buat makan sehari ini, bisa jadi nyawa ganti duit-duitribuan itu”. “iya mad, aku masih takut saja liat kejadian tadi”. “oh iya dapatberapa kau mad”. “syukur din, tadi aku dikasih sama orang dalam mobil, lumayan10.000 ribu, kita bisa buat makan nanti malam”. “kau beruntung saja mad”.Kemudian di susul dengan senyuman ahmad.
Mereka masih mengaso di bawah pohonitu, masih ditampar oleh angina yang terbawa oleh kendaraan-kendaraan. “oh iyadin, gimana kabar ayahmu”. Tanya ahmad. “iya din, ayahku masih sakit-sakitsekarang, kemarin pula waktu penyakitnya kambuh, tak ada dokter di rumah sakit,katanya dokter dan perawat-perawat itu sedang sibuk, sedang banyak pasien, tapirumah sakit itu tak terlihat ramai, terus aku pulang saja”. “biasa gitu din,aku juga sering, kalo kita gak punya duit mana mau kita di suruh masuk rumahsakit”. “iya mad”.
Sudah hampir 40 menit mereka dudukuntuk mengaso. Udin tak ada pikiran lain lagi selain terus melakukan pekerjaanitu. Ia sudah dipaksa oleh keadaan, dipaksa karena orang tuanya sudah tak bisacari kerja, dipaksa karena tak ada lagi kerjaan yang bisa dilakukan. Dia hanyaberpikir, kalau ia tak bekerja seperti itu, ia tak bisa makan, dan bapaknya takbisa makan, untuk beli obat, itu hanya sesekali saja, kalau ia dapat menemukanmalaikat yang turun memberikan duit di jalan. Ia dan temannya ahmad masihsangat kecil, kecil untuk menerima kenyataan bahwa mereka harus bekerja, danmereka tak punya keahlian sama sekali, berhitung saja yang ia ingat sewaktusekolah dasar. “mad ayok berangkat lagi”, kata udin mengajak ahmad. “kau duluansaja din, aku masih mau ngaso dulu”. “okelah mad”.
Udin berjalan kembali ke arahperempatan tempat ia bekerja. Tidak jauh dari perempatannya tersebut, ada jugaorang tua yang bekerja di perempatan, tak tahulah apa mengemis itu di bilangpekerjaan atau tidak, yang jelas, orang-orang tua, perempuan dan laki-laki yangmengesot di perematan itu sudah lama juga berada di situ. Ia menunggu belaskasihan para pengendara yang menunggu lampu merah menjadi lampu hijau. Mukanyasudah keriput, kedua-duanya. Perempuan membawa sarung yang digendong berisikain-kain yang tak terlihat bentuknya, itu mungkin pakaiannya. Setiap kalilampu berwarna merah, ia jalan ke tengah orang-orang yang berhenti, menjulurkantangan. Sedang orang tua laki-laki yang mengesot tadi hanya modar-mandir dengansusahnya searah trotoar, telapak kakinya seperti tetanus dan lukanya sangatkotor, tangannyapun sudah tak sempurna. Tiga jarinya, kelingking, jari manisdan jari tengah di tangan kirinya tinggal sepertiga dari panjangnya semula,sedang tangan kananya terlihat tak bisa bergerak lagi. Itu yang ada diperempatan tidak jauh dari tempat udin. Keadaan seperti itupun taka da yangberubah pada kedua orang tua tersebut, penyakit dan aktifitasnya setiap haritak lebih dan tak kurang, meminta belas kasihan—mungkin juga dokter danorang-orang yang diberi kelebihan yang melewati perempatan itu masih belumsempat melihat manusia yang lain.
Udin yang sudah memulai pekerjaannyaitu tak hentinya meniup pluitnya dengan selang waktu yang tidak seragam.Tergantung dari kendaraan yang ingin berbelok.
Waktu sudah hampir jam 2, udin melihattemannya ahmad sudah berada di tempatnya. Ia masih cukup sibuk dengankendaraan-kendaraan yang banyak memutar balik atau belok kea rah jalanseberang. Nasibnya hari itu, semakin banyak kendaraan yang berbelok dan memutarbalik, tapi tak banyak pula ia dapatkan recehan atau duit seribu rupiah. Iasedikit jenuh dengan hari itu. Kemudian ia putuskan untuk ke pinggir jalan danduduk mengaso, perutnya sudah dapat panggilan alamiah karena kelaparan. Iakembali melihat isi kantung celananya. Setelah menghitung, ia hanya dapatkan 9150rupiah. “ah duit ini, kalau aku belikan makan sekarang, pasti akan sisa setengah,berarti jatahku untuk makan nanti malam akan hilang”, kata udin. Begitu setiapharinya. Ia hanya dapat duit yang tidak bisa ia gunakan untuk makan ke-esokanharinya. “sisanya untuk bapakku makan nanti malam”. Ia berharap bisamendapatkan lagi duit-duit itu nanti setelah ia selesai makan dan melanjutkankerjanya.
Antara sesama teman yang bekerja diperempatan, tak aka nada duit yang bisa saling dibagikan, bukan karena tidakingin, tapi itulah kondisinya, sama-sama hanya bisa di buat makan untuk satuhari, itupun mungkin hanya untuk makan sekali. Ia kadang berpikir dengan apayang dialami sekarang, tentang bapaknya yang masih sakit, tentang orang tua diperempatan sebelah sana, dan terutama tentang orang-orang ber-ada yang tak maukasih bantuan, atau kasih pertolongan. Tapi tak mungkin ia hanya memikirkan itupada saat ia dituntut oleh keadaan agar selalu bekerja di perempatan jalan.
Ia segera pergi ke warung langgananya,tempat ia makan dan minum hanya dengan modal 5000 rupiah, atau sesekali hanya3000 rupiah karena murah hatinya ibu di warung tersebut. “makan din”, kata ibuwarung. “iya bu, seperti biasa saja bu”. “iya din”. Setelah makanan sudahterdapat di depan mukanya, ia tidak sempat mengucapkan terimakasih atau menyapaibu tersebut, ia langsung melahap makanan itu dengan rakusnya, ia sangatkelaparan. Tak lebih dari sepuluh menit, makanan dan minum yang tadinya ada didepan matanya sudah habis, hanya menyisakan piring dan gelas yang tak berisi.Segera ia mau beranjak. Ia segera memberikan duit 5000 rupiah pada ibu warungtersebut, tanpa menanyakan dulu harganya, karena sudah kebiasaan. “ini buduitnya”. “ tak usah din, bawa sajalah duitmu itu untuk makan nanti ataubesok”. “maksih banyak bu”. Sebentar itu ia langsung meninggalkan warung itu.
Perjalanan baliknya ke perempatan, taksadar ia sedang berangan. Kalau ia punya duit banyak, ia ingin sekali membantuorang tua laki-laki yang mengesot di perempatan itu, ia ingin kasih merekamakan, dan bawakan ke dokter. Tentu setelah bapaknya telah berhasil iasembuhkan. Tapi hilanglah lagi angan itu seketika. “ah, pikiran ini lagi”,katanya. Sama saja buat orang miskin atau orang kaya sekarang, sama-sama takmembantu yang lain. Bedanya orang miskin tak dapat membantu karena merekasendiripun tak punya, pendidikan, duit, rumah, dan pakaian mereka sangatkurang. Kalau orang-orang kaya itu tak membantu karena tak mau dekat denganorang-orang yang lain, mereka hanya mau dekat sama orang-orang kaya yang lain.Hanya dua tipe orang tersebut yang tergambar di pikirannya, tak tau apa pejabatlegislative, dokter, insinyur dan polisi itu orang kaya atau bukan, berduitatau tidak, yang ia tahu hanya yang miskin dan yang kaya. Yang miskin sudahjelas ia tahu, ya seperti dia, ahmad dan orang tua di perempatan sebelah sana. Yangkaya, ia tak tahu siapa.
Jalan sudah semakin padat, karenasudah dekat dengan waktu kepulangan para pekerja kantoran, udin semangatmelihat jalan yang semakin padat, dan tak peduli dengan resiko pekerjaannyayang berlalu-lalang di tengah jalan raya. Ahmad dilihatnya masih berada padaposisi sebelumnya, sama seperti ia, mengatur kendaraan yang berlalu lalangingin berbelok atau memutar balik. Ia pun kembali larut dalam aktifitasnya.
Pada sore hari inipun tak banyakrupiah yang ia dapatkan, hanya bertambah 3500 rupiah. “sialan hari ini, sedikitsekali yang kasih duit”, gumam udin.
Dengansangat muram, seperti hari yang sudah semakin gelap, iapun pulang ke rumahnya.Bapaknya masih terkapar dalam kamar yang berdindingkan kayu-kayu yang telahbolong. Ia langsung menuju tempat di mana bapaknya tertidur. Sebelum pulangtadi ia membelikan bapaknya makanan dan minum. “kau sudah pulang din”, katabapaknya. “iya pak, hari ini hanya dapat sedikit”, dengan wajah yang sedih.“tak apa nak, apa kau sudah makan”. “iya sudah pak, ini makanan buat bapak”.
Setiapharinya bapak udin, hanya menunggu hasil dari jerih payah dan usaha anaknyakalau ingin makan, ini sudah terbiasa sejak dulu, kalau udin beruntung akanbawa makanan, lebih beruntung lagi kalau udin bisa beli obat buat bapaknya.Selebihnya tak aka nada makanan bahakan obat. Bapaknya dulu juga tak cukupberuntung, ia hanya jadi tukang becak, tapi itu sudah berhenti ketika bapaknyamenderita sakit sekitar dua tahun yang lalu. Mereka sudah tahu persis rasanyatak makan sehari, dua hari atau tiga hari. Mereka juga sudah mengunyah habisrasanya tak dipedulikan oleh orang lain, dan sudah terbiasa dengan rasa sakityang biasa tak diobati. Ini adalah zaman dimana manusia bahkan orang pintar danbepengetahuan sekalipun hanya melihat mereka dari jauh. Hanya dipandang sebagaigejala sosial manusia atau bahkan permasalahan manusia yang hanya sempatdidiskusikan di ruang dan tempat diskusi. Hanya jadi objek perbincangan—jadiobjek serangan media yang meungutamakan rating.
Kalaubertaanya-tanya tentang ibunda udin. Ibundanya sudah melewati batas langit danbumi sewaktu udin masih berumur dua bulan.
“nakbesok kau berangkat pagi sedikit, siapa tau ada rejeki yang datang”, katabapaknya. “bapak rasa besok kita akan dapat rejeki yang banyak”. “iya pak,bapak makan dulu, bapak kan seharian ini belum makan”. “iya din”. Kemudian udinmeninggalkan bapaknya dalam kamar. Ia keluar ingin beristirahat, menghilangkansegala macam kekecewaan yang ia alami hari itu. Ia belum bsa membelikan obatlagi untuk bapaknya.
Malamsudah datang dengan pekat, tanpa angin, dan tanpa cahaya, semua terlihatmendung, tapi malaikat tak kunjung menurunkan hujan. Udin terlelap dalamkekecewaanya, melihat semua sebagai sesuatu yang suram, ia, bapaknya, teman-temannya,orang tua di perempatan jalan. Ia tak sanggup berpikir hal itu, ia tertidur.
Esokhari ia sudah terjaga jam 6.00, ia sudah bersiap-siap dengan pluit yang iapakai setiapa hari. Sebelum ia berangkat di perempatan, ia menengok ke ruangtidur bapaknya, dilihatnya bapaknya masih tertidur pulas, dengan wajah yangtenang. Kemudian ia segera lekas berangkat ke perempatan. Waktu sigitu pagiahmad tentu belum datang, tapi pukul sekian kendaraan sudah mulai padat danbising. Ia bersemangat. Dua jam saja ia sudah dapat rupiah yang melebihirupiahnya kemarin.
Jam9.30 pagi, ia melihat temannya ahmad menelusuri trotoar di hadapanya, ia hanyatersenyum melihat ahmad yang datang. “din, tumben sekali kau sudah datang”.“iya mad, biar rezeki banyak”, kata udin. Ahmad hanya menggelngkan kepalamendengar kata-kata udin. Udin pun hari itu sudah bisa makan lebih awal,seperti jam-jam makan para pekerja kantoran dan bos-bosnya. “betul juga katabapak, hari ini bisa dapat duit lebih banyak”, pikirnya.
Saatmengasopun ia sudah merencanakan, akan membeli obat buat bapaknya, “ah, nantiaku bisa beli obat buat bapak”. “besok-besok kalau dapat kayak gini lagi, akumau belikan makan buat ahmad sama orang-orang tua di sana”, kata udin semakinbersemangat melihat nasib baiknya.
Dirumahnya, bapak udin sudah melayang bersama istrinya meninggalkan batas-bataslangit dan bumi, ke ruang paling kekal. Pagi tadi bapaknya sudah berkelana,senyum yang dilihat udin adalah senyum karena bapaknya telah bebas daripenderitaan, penderitaan dunia. Bapaknya sudah membuktikan pembicaraanya padaanaknya. Bahwa hari itu udin akan mendapat rezeki yang banyak. Rupiah dansekaligus kepergian bapaknya. Hilanglah tanggungan dari udin, ia hanya mencariduit dan makan untuk dirinya sendiri, tak akan lagi mencari obat untukbapaknya. Udin mendapat rezeki yang banyak.
Sementaraudin yang bersemangat bekerja sambil sesekali menghayal tentang obat dan makanan untuk bapak dan teman-temannya. Tak ada perasangka burukpun yang iarasakan, hanya angan impian di depan mata yang akan ia lakukan. Ia belumselesai dengan pekerjaanya, orang-orang tua masih mengesot dan menggendongsetumpuk kain yang tak jelas bentuknya di perempatan yang lain dan ahmad masihbekerja seperti yang dilakukan udin. Udin tak akan pernah berbicara lagi denganbapaknya, setidaknya di alam naif ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun